Sabtu, 13 Agustus 2011

Penghentian Terapi Antitrombotik Meningkatkan Risiko Stroke Iskemik

Penghentian Terapi Antitrombotik Meningkatkan Risiko Stroke IskemikSebuah penelitian mengungkap bahwa 1 dari 20 kasus stroke iskemik terjadi dalam 60 hari sejak dihentikannya pemberian agen antitrombotik. Penelitian ini dilakukan oleh dr. Joseph P. Broderick dan kolega dari University of Cincinnati College of Medicine, Ohio, yang dipublikasikan online di jurnal Stroke akhir Juni 2011. Sebagaimana sangat sering dijumpai dalam praktik klinis, terapi dengan agen antitrombotik boleh jadi dihentikan sementara selama pelaksanaan prosedur invasif dan seusai komplikasi perdarahan guna meminimalkan risiko perdarahan baru atau berulang. Namun, para klinisi seyogianya menimbang-nimbang antara risiko stroke dan kejadian kardiovaskuler dengan risiko perdarahan, misalnya akibat sebuah prosedur invasif, seandainya terapi antitrombotik tetap diberikan. Tim peneliti menggunakan data dari Greater Cincinnati/Northern Kentucky Stroke Study untuk mencari tahu jumlah kasus stroke iskemik akut terkait penghentian terapi antiplatelet atau antikoagulan. Dari 2197 kasus stroke yang terjadi pada 2090 pasien dewasa sepanjang tahun 2005, sebanyak 114 (5,2%) kasus di antaranya terjadi dalam 60 hari semenjak penghentian terapi antitrombotik.
Pada analisis multivariat yang mengendalikan berbagai faktor risiko lain untuk stroke iskemik, tetap diberikannya terapi antitrombotik sewaktu kejadian stroke terungkap berkaitan dengan risiko mortalitas 3-bulan yang lebih rendah secara bermakna (odds ratio [OR] 0,55), begitu pula dengan risiko mortalitas 1-tahun (OR 0,56), dibandingkan dengan penghentian terapi tersebut sebelum onset stroke. Pada 54 pasien, penghentian terapi diputuskan oleh dokter untuk keamanan prosedur; lebih dari separuhnya mengalami stroke dalam 7 hari sejak penghentian terapi.
"Langkah pertama yang harus dilakukan, oleh dokter layanan primer, ialah menilai risiko stroke/kejadian kardiovaskuler dan risiko perdarahan terkait prosedur yang direncanakan," dr. Broderick menjelaskan. "Langkah terpenting berikutnya ialah komunikasi yang baik antara dokter yang bertanggung jawab atas pencegahan stroke/kejadian kardiovaskuler, dokter yang menjalankan prosedur, dan pasien bersangkutan," tandas dr. Broderick. "Yang paling sulit," lanjut beliau, "ialah ketika dokter yang melakukan prosedur (mis., injeksi epidural, operasi mata, dll.) hanya mempertimbangkan risiko perdarahan terkait prosedur tersebut dan tidak memikirkan risiko stroke/kejadian kardiovaskuler, yang memang bukan kepentingan ataupun fokus terapi utamanya."
Studi ini menemukan bahwa hanya 5 dari 38 pasien yang menjalani pembedahan dan prosedur umum yang tetap mendapat terapi heparin. Sebagai simpulan, para peneliti menyarankan agar penghentian pemberian agen antitrombotik seharusnya jangan lebih lama dari yang dibutuhkan. Jika terapi perlu dilanjutkan lagi, pemberiannya mesti dikoordinasikan dengan baik disertai instruksi yang jelas kepada pasien dan follow-up pasca-prosedur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar