Kamis, 25 Agustus 2011

Sebagian Besar Anak dengan HIV-Positif Defisiensi Vitamin D

Sebagian Besar Anak dengan HIV-Positif Defisiensi Vitamin D
Sebagian besar anak dengan HIV-positif kekurangan vitamin D. Dalam studi terbaru disebutkan bahwa, anak-anak ini perlu dosis dua kali pengobatan standar untuk mencapai tingkat vitamin D yang memadai. Tapi suplemen vitamin D, terlepas dari dosis, tidak mempengaruhi status HIV mereka, menurut Dr. Ari Bitnun dan rekan dari Hospital for Sick Children, Toronto. Persentase dan jumlah CD4 tetap stabil bahkan ketika kadar vitamin D ditingkatkan. Hal ini telah dipublikasikan dalam Journal of Pediatrics tahun 2011.
Defisiensi vitamin D mungkin multifaktorial, hal ini dikatakan peneliti. Pemaparan sinar mataharu yang kurang, penggunaan tabir surya, diet rendah vitamin D, dan studi terbaru menujukan bahwa pengobatan antiretrovirus mungkin memberikan dampak terhadap kadar vitamin D.
Dr. Bitnun dan rekan melakukan studi terhadap 53 anak-anak dengan HIV-positif. 19% dengan gejala HIV berat, 17 dengan supresi sistem imun yang berat, dan semuannya mendapatkan antiretroviral. Sebanyak 85% anak-anak terjadi defisiensi vitamin D, dengan cut off kadar
25(OH)D adalah 75 nmol/L (insufisiensi) dan
25 nmol/L (defisiensi). Seluruh subyek dibagi menjadi 3 kelompok dan selama 6 bulan studi masing-masing; 17 anak tidakmendapat intervensi vitamin D, 18 anak mendapat vitamin D dosis standar (5600 U/ minggu), dan 18 anak mendapat vitamin D dengan dosis dua kali dosis standar.
Data awal, rata-rata jumlah sel CD4 adalah 927 sel/mikroliter,viral load adalah 1,63 log10, dan kadar vitamin D alaha 53,1 nmol/L. Jumlah sel CD4 dan viral loada tidak berubah setelah terapi 6 bulan, dan dilain pihak kadar vitamin D meningkat setelah pengobatan. Meningkat 42.7 sampai 96.5 nmol/L pada anak yang mendapat vitamin D dua kali dosis standar, dan bermakna jika dibandingkan dengan dua kelompok lainnya.
Peneliti menyampaikan bahwa menjaga kadar vitamin D pada anak dengan HIV sangat diperlukan untuk mencegah risiko patah tulang, dan penambahan vitamin D dosis tinggi pada anak-anak tersebut sangat dianjurkan.

kf (KTW)

Selasa, 23 Agustus 2011

Diet Kaya Kalium, Menurunkan Risiko Stroke

Diet Kaya Kalium, Menurunkan Risiko Stroke
Orang yang banyak mengkonsumsi buah dengan kadar kalium tinggi, sayuran dan produk susu akan berkurang kemungkinannya untuk menderita stroke dibanding mereka mengkonsumsi sedikit, hal ini ditunjukkan dari hasil sebuah studi terbaru yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Stroke yang berdasarkan dari analisis 10 studi internasional dan melibatkan lebih dari 200.000 subyek dewasa dan usia paruh baya. Sebaliknya, risiko stroke akan berkurang seiring dengan peningkatan asupan kalium. Untuk setiap kenaikan 1.000 mg kalium sehari, kemungkinan menderita stroke dalam lima sampai 14 tahun ke depan menurun 11%.
Dalam studi tersebut, secara keseluruhan, 8.695 orang (sekitar satu dari 30) menderita stroke. Namun penurunan risiko stroke terlihat dengan setiap kenaikan 1.000 mg kalium harian setelah disesuaikan untuk faktor seperti usia, kebiasaan olahraga dan merokok. Kalium secara khusus dikaitkan dengan penurunan risiko stroke iskemik, tetapi tidak untuk risiko stroke hemoragik. Ini tidak jelas mengapa hal ini terjadi.
Jika kalium melindungi hanya terhadap stroke iskemik, hal inimenunjukkan bahwa ada hal lain yang lebih baik daripada kontrol tekanan darah. Temuan ini sejalan dengan studi baru-baru ini oleh the U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang melibatkan lebih dari 12.000 orang dewasa selama 15 tahun. Dalam penelitian tersebut, peneliti menemukan bahwa orang yang mengkonsumsi natrium tinggi dan sedikit asupan kalium lebih mungkin untuk meninggal dengan apapun penyebab selama masa studi.

kf (KTW)

Asupan Vitamin B Tinggi Menurunkan Keluhan PMS (Premenstrual Syndrome)

Asupan Vitamin B Tinggi Menurunkan Keluhan PMS (Premenstrual Syndrome)
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, premenstrual syndrome (PMS) dapat mengenai sekitar 85% wanita menstruasi. Meskipun kebanyakan wanita mengalami gejala ringan, sekitar 3-8% mengalami gejala PMS yang lebih berat yang disebut dengan premenstrual dysphoric disorder (PMDD). Gejala PMS meliputi iritabilitas, menangis, peningkatan nafsu makan, depresi, retensi air, kembung, dll. Hal ini merupakan salah satu alasan bahwa 30% dari mereka akan berobat ke dokter.
Etiologi PMS masih sulit dimengerti. Stres atau kebiasaan makan yang buruk dapat menjadi penyebab PMS. Banyak dari gejala umum yang dikaitkan dengan PMS dapat dikurangi dengan suplemen dan perubahan gaya hidup. Peningkatan konsumsi vitamin B baik melalui diet maupun suplementasi dapat mengurangi kemungkinan gejala PMS tersebut bermanifestasi.Suatu studi di US meneliti kebiasaan makan, penggunaan suplemen, dan ada tidaknya gejala PMS selama periode 10 tahun. PMS didiagnosis pada 1057 partisipan (36%), sedangkan 1968 wanita diidentifikasi tidak mengalami PMS atau gejala menstrual lainnya.
Hasilnya menunjukkan bahwa wanita dengan asupan vitamin B yang lebih tinggi, khususnya thiamine (B1) dan riboflavin (B2) mempunyai risiko terjadinya gejala PMS yang secara bermakna lebih rendah. Pada wanita yang mengonsumsi thiamine dengan kadar tinggi, risiko terjadinya gejala PMS menurun 25%, sedangkan wanita yang mengonsumsi riboflavin dengan kadar yang lebih tinggi mengalami penurunan gejala PMS 35%.
Diyakini bahwa vitamin B dapat membantu mempengaruhi PMS dengan membantu sintesis neurotransmiter di otak. Vitamin B2 berperan penting dalam pembentukan vitamin B6 yang berperan menghasilkan serotonin. Gejala kecemasan, depresi, dan sakit kepala rendah saat kadar serotonin tinggi. Sedangkan vitamin B1 diperlukan untuk mensintesis neurotransmiter lain yang disebut GABA yang dikaitkan dengan tingkat kecemasan. Jadi asupan thiamine dan riboflavin yang lebih tinggi telah dikaitkan dengan risiko PMS yang lebih rendah.

kf (EKM)

Fluoxetine Mengatur Ekspresi Growth Factor dan Metabolisme Glukosa pada Astrosit

Fluoxetine Mengatur Ekspresi Growth Factor dan Metabolisme Glukosa pada Astrosit
Secara farmakologis, kerja dari sebagian besar anti-depresan adalah untuk memodulasi transmisi serotonergik dan atau noradrenergik di dalam otak. Selama masa pengobatan untuk depresi mayor, fluoxetine, salah satu dari sekian banyak anti-depresan penghambat ambilan kembali serotonin yang selektif (SSRI), terakumulasi di dalam otak. Hal ini menandakan bahwa fluoxetine dapat berinteraksi dengan target-target lainnya. Dalam konteks ini, terdapat peningkatan bukti bahwa astrosit terlibat di dalam patofisiologi depresi mayor.
Suatu penelitian dilakukan Allaman I, dan rekan dan dipublikasikan dalam Psychopharmacology tahun 2011, dimana tujuan studi ini untuk menganalisis efek dari fluoxetine pada ekspresi neurotropik/faktor pertumbuhan yang memiliki efek anti-depresan dan pada metabolisme glukosa pada astrosit kortikal yang dikultur.
Pengobatan astrosit dengan fluoxetine dan paroxetine, sebuah anti-depresan SSRI lainnya, meningkatkan ekspresi faktor neurotropik otak (brain-derived neurotrophic factor, BDNF), faktor pertumbuhan endotel vaskuler (vascular endothelial growth factor, VEGF), dan VGF mRNA. Sebaliknya, anti-depresan trisiklik desipramine dan imipramine tidak memiliki pengaruh terhadap ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan/neurotropik ini. Analisis efek dari fluoxetine pada metabolisme glukosa ini mengungkapkan bahwa fluoxetine menurunkan kadar glikogen dan meningkatkan pemakaian glukosa dan pelepasan laktat oleh astrosit. Data serupa juga didapat dengan paroxetine, sementara itu penggunaan imipramine dan desipramine tidak mengatur metabolisme glukosa pada populasi sel glial ini.
Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa efek dari fluoxetine dan paroxetine pada penggunaan glukosa, pelepasan laktat, dan ekspresi BDNF, VEGF, dan VGF tidak dimediasi oleh mekanisme yang tergantung pada serotonin.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatkan ekspresi faktor neurotropik astrosit yang spesifik dan pelepasan laktat dari astrosit, fluoxetine dapat berkontribusi untuk menormalkan dukungan tropik dan metabolik pada neuron pada penderita depresi mayor. Kesimpulan ini mendukung manuskrip sebelumnya yang menyatakan bahwa sejalan dengan efek dari sitokin dan proses inflamasi sentral pada glia, hilangnya elemen glia termasuk oligodendrosit dan astrosit, pada berbagai bagian otak yang terkait dengan mood, termasuk korteks prefrontal dan amygdale, telah mengungkapkan kelainan morfologi pada depresi mayor.

kf (SFN)

Laki-Laki yang Obes Mempunyai Tumor Prostat yang Lebih Besar

Laki-Laki yang Obes Mempunyai Tumor Prostat yang Lebih Besar
Obesitas tidak hanya dihubungkan  dengan kanker prostat yang lebih agresif tetapi juga untuk tumor yang lebih besar, Peneliti Italia melaporkan. Sementara beberapa penelitian telah melaporkan hubungan antara berat badan dengan kanker prostat saja, sampai sekarang hanya satu studi di Amerika telah mencari hubungan antara obesitas dan volume tumor, kata para peneliti dalam makalah yang diterbitkan dalam British of Journal Urology International secara online 20 Juli 2011.
Dari studi klinis yang dilakukan di Italia, menunjukkan secara jelas dari sisi klinis, bahwa obesitas mungkin memegang peranan dalam patofisiologi kanker prostat, setelah dinilai semua faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Hal ini disampaikan peneliti Dr. Umberto Capitano.
Dr. Capitanio dan rekan dari University Vita-Salute San Raffaele Milan, menganalisis data dari sebanyak 1.275 pria yang menjalani prostatektomi radikal antara 2006 dan 2009. BMI rata-rata adalah 26,3 dan volume tumor rata-rata adalah 5,6 mL. Namun pada pria berat badan normal, volume tumor rata-rata adalah 5,0 mL. Meningkat masing-masing menjadi 5,8, 6,3 dan 9,2 mL pada pria kelebihan berat badan, obesitas dan sangat gemuk. Volume ini, para peneliti menunjukkan adalah "sangat mirip" dengan yang terlihat dalam studi Amerika.
BMI merupakan prediktor independen dari volume tumor setelah faktor-faktorseperti: usia, nilai prostate-specific antigen, reajat klinis, volum eprostat, dan faktorlainnya. disebutkan obesitas diperkirakan merupakan lingkungan mikro intrinsik terhadap pertumbuhan kanker, faktor diet, serta asal negara. Dan pada kesimpulannya Dr. Capitanio menyampaikan bahwa hasil studi ini juga akan menimbulkan dilema, apakah kontrol diet dan metabilisme pada pasien obes dapat berpengaruh terhadapperkembangan risiko yang secara klinis bermakna pada kanker prostat.

kf (KTW)

Senin, 22 Agustus 2011

Diet Kaya Kalium, Menurunkan Risiko Stroke

Diet Kaya Kalium, Menurunkan Risiko Stroke
Orang yang banyak mengkonsumsi buah dengan kadar kalium tinggi, sayuran dan produk susu akan berkurang kemungkinannya untuk menderita stroke dibanding mereka mengkonsumsi sedikit, hal ini ditunjukkan dari hasil sebuah studi terbaru yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Stroke yang berdasarkan dari analisis 10 studi internasional dan melibatkan lebih dari 200.000 subyek dewasa dan usia paruh baya. Sebaliknya, risiko stroke akan berkurang seiring dengan peningkatan asupan kalium. Untuk setiap kenaikan 1.000 mg kalium sehari, kemungkinan menderita stroke dalam lima sampai 14 tahun ke depan menurun 11%.
Dalam studi tersebut, secara keseluruhan, 8.695 orang (sekitar satu dari 30) menderita stroke. Namun penurunan risiko stroke terlihat dengan setiap kenaikan 1.000 mg kalium harian setelah disesuaikan untuk faktor seperti usia, kebiasaan olahraga dan merokok. Kalium secara khusus dikaitkan dengan penurunan risiko stroke iskemik, tetapi tidak untuk risiko stroke hemoragik. Ini tidak jelas mengapa hal ini terjadi.
Jika kalium melindungi hanya terhadap stroke iskemik, hal inimenunjukkan bahwa ada hal lain yang lebih baik daripada kontrol tekanan darah. Temuan ini sejalan dengan studi baru-baru ini oleh the U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang melibatkan lebih dari 12.000 orang dewasa selama 15 tahun. Dalam penelitian tersebut, peneliti menemukan bahwa orang yang mengkonsumsi natrium tinggi dan sedikit asupan kalium lebih mungkin untuk meninggal dengan apapun penyebab selama masa studi.

kf (KTW)

Penggunaan Succynilcholine Sebaiknya Dihindari pada Pasien yang Mendapat Terapi Statin

Penggunaan Succynilcholine Sebaiknya Dihindari pada Pasien yang Mendapat Terapi Statin
Statin dan succinylcholine dapat menyebabkan kerusakan jaringan otot, sehingga kombinasi obat tersebut dapat menyebabkan efek samping yang merugikan. Hal tersebut merupakan kesimpulan dari hasil studi yang dilakukan Lee yang dipublikasikan dalam jurnal Anesthesiology tahun 2011. Dalam studi tersebut terungkap bahwa succynilcholine sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang mendapatkan terapi statin.
Studi tersebut melibatkan pasien yang mengonsumsi statin selama minimal 3 bulan (n=38) dan pasien yang tidak pernah mengonsumsi statin (n=32). Pasien dianestesi umum dan diberi succinylcholine 1,5 mg/kg untuk intubasi. Kejadian dan derajat fasikulasi setelah pemberian succinylcholine dicatat dan sampel darah diambil sebelum induksi, 5, 20 menit, dan 24 jam setelah pemberian succinylcholine. Pasien diwawancara 2 dan 24 jam setelah pembedahan untuk menentukan derajat mialgia atau nyeri otot. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah 20 menit pemberian succinylcholine, kadar mioglobin lebih tinggi pada pengguna statin vs bukan pengguna statin (p=0,018).
Fasikulasi pada pengguna statin lebih hebat dibanding bukan pengguna statin (p=0,047). Namun kalium dan creatine kinase plasma sebanding antara kedua kelompok, demikian juga dengan nyeri otot.
Meskipun tampaknya secara klinis tidak bermakna, temuan baru tersebut akan memicu penilaian ulang dari peran succinylcholine, di mana kuantifikasi dari interaksi succinylcholine-statin adalah hal yang penting, mengingat penggunaan obat statin pada orang usia lanjut secara luas meningkat dan mengingat bahwa baik succinylcholine dan obat-obatan statin sering menyebabkan kerusakan otot. Sehingga penggunaan succinylcholine sebaiknya dihindari pada pasien yang mendapat terapi statin, kecuali ada indikasi khusus.

kf (EKM)

Jumat, 19 Agustus 2011

Aktivitas Interleukin (IL-17) mungkin Berkontribusi dalam Kejadian Asma Berat

Aktivitas Interleukin (IL-17) mungkin Berkontribusi dalam Kejadian Asma BeratTelah alam diketahui bahwa, asma merupakan penyakit yang ditandai dengana adanya disregulasi respon imun  sel T-helper tipe 2 terhadap alergen lingkungan. Studi klinis menunjukkan bahwa asma adalah gangguan yang bersifat heterogen dari proses peradangan. Dari kumpulan bukti menunjukkan bahwa produksi interleukin (IL)-17 yang menyimpang adalah merupakan salah satu penentu utama dari derajat keparahan asma. Namun, identitas produksi sel IL-17 dan faktor-faktor yang mengatur produksi IL-17 selama proses peradangan pada alergi tetap sulit dipahami.
Dalam review yang dilakukan oleh Wang YH., dkk. dan dipublikasikan dalam jurnal Current Allergy and Asthma Reports tahun 2011 ini, dirangkum hasil-hasil studi perihal potesial produksi dari IL-17 dan keterlibatannya dalam respon inflamasi yang memediasi fitur yang berbeda dari asma. Peran sitokin pro-inflamasi dan jalur komplemen dalam mengatur generasi sel T dalam memproduksi IL-17.
Dalam kesimpulannya peneliti menyampaikan bahwa, mengenal lebih jauh dari sifat-sifat biologis IL-17 dalam konteks perannya pada proses alergi dan inflamasi mungkin dapat dikembangkan sebagai salah satu pendekatan baru untuk diagnosis dan terapi asma.

kf (KTW)

Kamis, 18 Agustus 2011

SAHABAT BARU YANG MUNGKIN TIDAK AKAN PERNAH KETEMU


Latvia

Saya membuat Blog ini pada bulan Juni 2011 yang lalu, baru tiga bulan hingga posting tulisan ini. Pada bulan pertama terasa bingung untuk mengguanakan blog ini, semuanya masih meraba dan kacau. Untuk mengatasi kelemahan itu saya buka blog tiap hari, utak-atik dari tab ke tab dan tidak lupa mengadu pada Youtube untuk melihat video-video yang berhubungan dengan blog. Blog ini dibuat hanya iseng untuk mengisi waktu luang sambil memperdalam tentang pengetahuan semua yang berhubungan dengan apa saja yang bisa kita ambil dari sebuah jaringan. Dan akhirnya terasa menyenangkan ketika saya melihat tab Statistik karena ada berberapa negara yang tercantum disana sebagai audience yang mampir ke blog saya. Jerman, Amerika Serikat, India, Malaysia, Rusia dan negara kecil Latvia. Ada kesenangan tersendiri dihati saya ketika melihat nama-nama negara dan melihat peta negara-negara mereka. Banyak pertanyaan dalam hati saya. Siapa sih mereka? Apa kegiatan mereka ya? Seperti apa ya keadaan negara meraka? Ada perasaan yang sangat dalam di hati saya, seperti ingin bertemu mereka, berkunjung ke negara meraka dan lain-lain. Sayang itu sangat mustahil bagi saya. Dan itu sebabnya saya menulis judul posting kali ini adalah "SAHABAT BARU YANG MUNGKIN TIDAK AKAN PERNAH KETEMU".

Jerman
Disaat saya melihat peta di google, saya sangat asik mengunjungi negara mereka walau hanya sebuah gambar yang terlihat dilayar komputer. Negara mereka lebih terawat daripada negara saya, negara mereka lebih bersih, menarik dan menjadi nilai tambah tersendiri bagi berbagai turis asing untuk berkunjung kesana.

Saya sangat menghargai siapa saja yang pernah berkunjung ke blog saya ini, dan saya lebih senang jika anda bermurah hati sedikit untuk mencantumkan blog anda untuk saya kunjungi. Bahkan ada lebih luar biasa daripada itu, yaitu kesenangan dan rasa terimakasih saya yang sangat besar jika anda mau berbagi siapa diri anda yang pernah berkunjung ke blog ini dengan mengirimkan poto ke email saya ibourne8@gmail.com dan mencantumkan nama negara mana anda berasal.


Rusia
Dengan demikian mungkin kita akan menjadi penduduk planet bumi ini yang saling mengenal satu sama lainnya walau jauh dengan perbedaan negara, adat dan ras. Apalagi negara anda adalah negara besar dengan sejarah negara yang sangat menarik pasti saya akan sangat berteima kasih untuk menjadi sahabat anda. Tidak menjadi soal walau perbedaan bahasa yang mungkin sulit untuk dipahami dan dipelajari, masih ada bahasa inggris yang lebih sedikit mudah untuk dipelajari walau tetap menggunakan google translete :)

Saya tunggu siapa anda, sejarah anda dan keindahan negara anda....

Salam untuk persahabatan dunia. iBourne.


Senin, 15 Agustus 2011

Nimodipine Intra-arterial Efektif dan Aman untuk Perdarahan Subarachnoid

Nimodipine Intra-arterial Efektif dan Aman untuk Perdarahan Subarachnoid
Vasospasme serebral tetap menjadi masalah utama pada pasien pasca pendarahan subarachnoid karena aneurisma, walaupun sudah terdapat cukup banyak kemajuan dalam penanganan secara medis, pembedahan, dan perawatan endovaskuler. Para peneliti dari Universitas Nasional Kangwon dan Universitas Seoul, di Korea Selatan mengadakan studi klinis untuk melihat efektivitas dan keamanan Nimodipine secara infus intra-arterial pada pasien yang mengalami perdarahan subarachnoid akibat pecahnya aneurisma, sebagaimana yang dipublikasikan pada jurnal Interventional Neuroradiology edisi bulan Juni 2011.
Studi klinis ini dilakukan untuk mengevaluasi efikasi infus nimodipine yang diberikan secara intra-arterial untuk vasospasme simptomatik pada pasien dengan pendarahan subarachnoid karena aneurisma yang disebut juga sebagai aneurysmal subarachnoid hemorrhage (aSAH).
Data klinis dikumpulkan dari 42 pasien dengan gejala  vasospasme simptomatik setelah aSAH, direview secara retrospektif. 42 pasien yang menjalani 101 sesi infus nimodipine secara  intra-arterial. Respon angiografik, respon klinis segera, dan hasil klinis yang dievaluasi saat perdarahan dan 6 bulan kemudian merupakan parameter pengukuran studi tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan  perbaikan secara angiografik dicapai pada sebanyak 82,2% dari seluruh pasien. Perbaikan klinis segera adalah 68, 3%, dengan rate deteorirasi sebesar 5 %. Hasil klinis yang baik dicapai sebesar 76,2% pada saat pendarahan dan 84,6% pada saat 6 bulan kemudian. Vasospasme yang berkaitan dengan proses infark terjadi pada 21,4%. Tidak terdapat komplikasi yang disebabkan oleh pengaruh obat.
Kesimpulan studi adalah kelompok yang mendapatkan nimodipine menunjukkan hasil akhir yang memuaskan, dan nimodipine dapat direkomendasikan sebagai agen intra-arterial dengan efektivitas dan tingkat keamanan  yang baik pada keadaan vasospasme simptomatik setelah terjadinya pendarahan subarachnoid karena aneurisma atau  aSAH.

kf (IWA)

Vitamin D yang Rendah Meningkatkan Risiko Kejadian Diabetes Mellitus

Vitamin D yang Rendah Meningkatkan Risiko Kejadian Diabetes Mellitus
Menurut Badan kesehatan dunia,  World Health Organisation (WHO), secara global, penyakit diabetes mellitus menjangkiti sekitar 220 juta orang dan mempunyai angka mortalitas sebesar 3,4 juta orang setiap tahun. Berdasarakan data statistik, badan dunia WHO memprediksi tingkat kematian yang disebabkan oleh penyakit diabetes melitus ini dapat meningkat menjadi 2 kalinya pada tahun 2005 sampai 2030.  Para peneliti dari Tufts Medical Center & Carney Hospital di Massachusetts, Amerika Serikat, dipimpin oleh Dr. Mitri, menyampaikan informasi bahwa orang-orang dengan kadar vitamin D dalam darah yang tinggi (> 25 ng/mL), mempunyai risiko sebesar 43 % lebih rendah terhadap perkembangan penyakit Diabetes tipe 2 dibandingkan orang dengan kadar yang sangat rendah  (< 14 ng/mL). Hasil studi metaanalisa ini dipublikasikan dalam European Journal of Clinical Nutrition edisi Juli 2011.
Vitamin D dapat memodifikasi faktor risiko diabetes melitus tipe 2. Tujuan review penelitian ini untuk menilai hubungan antara  status vitamin D dengan insidensi diabetes tipe  2, dan melihat efek suplementasi vitamin D terhadap hasil glikemik. Dalam studi ini, para peneliti melakukan review sistemik terhadap beberapa studi yang dicari menggunakan MEDLINE selama Februari 2011. Studi kohor longitudinal melaporkan adanya hubungan antara status vitamin D dan insidensi diabetes tipe 2 termasuk didalamnya studi klinis secara teracak suplementasi vitamin D.
Hasil studi diekstrak dan kualitas studi juga turut dilakukan assessment. Hasil total 8 studi kohort observasional serta 11 studi secara randomisasi. Metaanalisa studi observasional, asupan vitamin D >500 international units (IU)/ hari menurunkan risiko  diabetes type 2 sebanyak 13% dibandingkan dengan asupan vitamin D <200 IU/hari. Individu dengan status vitamin D yang lebih tinggi ( > 25 ng/ml) mempunyai risiko 43% lebih rendah untuk mendapatkan diabetes tipe 2 (95% CI : 24,57%) dibandingkan dengan kelompok yang sangat rendah ( < 14 ng/ml). Pada analisa dari 8 penelitian diantara  peserta dengan toleransi glukosa  normal pada awal dan 3 penelitian kecil yang kurang bermakna  (dengaan n = 32-62) pasien dengan diabetes tipe 2 diabetes, tidak terdapat efek suplementasi vitamin D pada hasil glikemik.  Sedangkan pada 2 penelitian diantara  pasien dengan baselineintoleransi glukosa, Suplementasi vitamin D memperbaiki resistensi insulin.
Kesimpulan dari metaanalisa, Vitamin D mungkin berpengaruh dalam tipe 2 diabetes; meskipun, untuk mendapatkan peran yang lebih baik untuk  vitamin D dalam perkembangan dan progresi diabetes tipe 2, studi observasional kualitas tinggi dan studi randomisasi untuk mengukur kadar  25-hidroksivitamin D dan klinis yang berkaitan dengan hasil akhir glikemik tetap diperlukan.

kf (IWA)

Sabtu, 13 Agustus 2011

Lesinurad, Agen Urikosurik baru untuk Gout

Lesinurad, Agen Urikosurik baru untuk GoutStudi terbaru yang dipublikasikan di kongres European League Against Rheumatism (EULAR) 2011, London menunjukkan lesinurad ditambahkan dengan allopurinol menghasilkan penurunan kadar asam urat yang cepat dan stabil pada pasien gout yang tidak merespons pemberian allopurinol dengan optimal. Manfaat dari inhibitor URAT1 terbaru ini terlihat pada pasien dengan fungsi ginjal normal, pasien dengan gangguan ginjal ringan yang menerima allopurinol 200 atau 300 mg.
Fernando Perez-Ruiz (Hospital de Cruces, Baracaldo, Vizcaya, Spanyol), selaku ketua tim peneliti, mengatakan bahwa pasien yang tidak mencapai kadar asam urat dalam darah yang ditargetkan memiliki risiko untuk mengalami peradangan akut yang rekuren, perdangan sinovial yang kronik, dan kerusakan sendi yang progresif. Jika hiperuresemia tidak ditangani, penyakit gout akan bertambah parah. Penelitian ini dilakukan pada 208 pasien gout yang menerima allopurinol (dengan dosis pemeliharaan) dengan kadar asam urat ≥6 mg/dL paling tidak selama 6 bulan. Pasien tetap diberikan allopurinol, dan secara acak ditambahkan plasebo, atau lesinurad pada dosis 200, 400, atau 600 mg selama 4 minggu.
Persentase pasien yang mencapai kadar asam urat yang ditargetkan (<6 mg/dL) setelah perawatan adalah 28% pada kelompok plasebo, 71% di kelompok lesinurad 200 mg, 76% di kelompok lesinurad 400 mg, dan 87% di kelompok lesinurad 600 mg; ketiga kelompok lesinurad secara signifikan lebih baik dibanding plasebo (p <0,0001). Setelah 4 minggu perawatan, 115 pasien memasuki fase tambahan, kebanyakan dari mereka diberikan lesinurad 200 mg. Pada 30 pasien pertama yang dievaluasi pada minggu ke-28, 85%-nya memiliki kadar asam urat sesuai yang ditargetkan. Tidak ada laporan efek samping serius atau efek samping terkait dosis obat yang dilaporkan.
Guideline dari EULAR untuk penanganan gout merekomendasikan 2 alternatif perawatan gout. Alternatif pertama adalah menghambat sintesis asam urat, sedangkan alternatif keduanya adalah dengan meningkatkan ekskresi asam urat (urikosurik). Febuxostat merupakan obat gout terbaru, yang pertama sejak 40 tahun lalu. Febuxostat adalah senyawa non-purin oral, penghambat selektif xanthine oxidase, yang bekerja dengan menghambat sintesis asam urat, sudah disetujui FDA pada tahun 2009. Obat yang bekerja dengan meningkatkan ekskresi asam urat (contoh probenecid) dikaitkan dengan risiko toksiksitas hati yang tinggi, akan tetapi tidak demikian dengan lesinurad.
Lesinurad merupakan obat gout yang memiliki potensi yang besar. Dr. Dougados mengatakan bahwa merupakan berita yang fantastis kalau sekarang kita memiliki 2 molekul baru untuk penanganan gout. Di masa depan, diharapkan lesinurad akan menyusul Febuxostat untuk memperoleh persetujuan FDA.

Penghentian Terapi Antitrombotik Meningkatkan Risiko Stroke Iskemik

Penghentian Terapi Antitrombotik Meningkatkan Risiko Stroke IskemikSebuah penelitian mengungkap bahwa 1 dari 20 kasus stroke iskemik terjadi dalam 60 hari sejak dihentikannya pemberian agen antitrombotik. Penelitian ini dilakukan oleh dr. Joseph P. Broderick dan kolega dari University of Cincinnati College of Medicine, Ohio, yang dipublikasikan online di jurnal Stroke akhir Juni 2011. Sebagaimana sangat sering dijumpai dalam praktik klinis, terapi dengan agen antitrombotik boleh jadi dihentikan sementara selama pelaksanaan prosedur invasif dan seusai komplikasi perdarahan guna meminimalkan risiko perdarahan baru atau berulang. Namun, para klinisi seyogianya menimbang-nimbang antara risiko stroke dan kejadian kardiovaskuler dengan risiko perdarahan, misalnya akibat sebuah prosedur invasif, seandainya terapi antitrombotik tetap diberikan. Tim peneliti menggunakan data dari Greater Cincinnati/Northern Kentucky Stroke Study untuk mencari tahu jumlah kasus stroke iskemik akut terkait penghentian terapi antiplatelet atau antikoagulan. Dari 2197 kasus stroke yang terjadi pada 2090 pasien dewasa sepanjang tahun 2005, sebanyak 114 (5,2%) kasus di antaranya terjadi dalam 60 hari semenjak penghentian terapi antitrombotik.
Pada analisis multivariat yang mengendalikan berbagai faktor risiko lain untuk stroke iskemik, tetap diberikannya terapi antitrombotik sewaktu kejadian stroke terungkap berkaitan dengan risiko mortalitas 3-bulan yang lebih rendah secara bermakna (odds ratio [OR] 0,55), begitu pula dengan risiko mortalitas 1-tahun (OR 0,56), dibandingkan dengan penghentian terapi tersebut sebelum onset stroke. Pada 54 pasien, penghentian terapi diputuskan oleh dokter untuk keamanan prosedur; lebih dari separuhnya mengalami stroke dalam 7 hari sejak penghentian terapi.
"Langkah pertama yang harus dilakukan, oleh dokter layanan primer, ialah menilai risiko stroke/kejadian kardiovaskuler dan risiko perdarahan terkait prosedur yang direncanakan," dr. Broderick menjelaskan. "Langkah terpenting berikutnya ialah komunikasi yang baik antara dokter yang bertanggung jawab atas pencegahan stroke/kejadian kardiovaskuler, dokter yang menjalankan prosedur, dan pasien bersangkutan," tandas dr. Broderick. "Yang paling sulit," lanjut beliau, "ialah ketika dokter yang melakukan prosedur (mis., injeksi epidural, operasi mata, dll.) hanya mempertimbangkan risiko perdarahan terkait prosedur tersebut dan tidak memikirkan risiko stroke/kejadian kardiovaskuler, yang memang bukan kepentingan ataupun fokus terapi utamanya."
Studi ini menemukan bahwa hanya 5 dari 38 pasien yang menjalani pembedahan dan prosedur umum yang tetap mendapat terapi heparin. Sebagai simpulan, para peneliti menyarankan agar penghentian pemberian agen antitrombotik seharusnya jangan lebih lama dari yang dibutuhkan. Jika terapi perlu dilanjutkan lagi, pemberiannya mesti dikoordinasikan dengan baik disertai instruksi yang jelas kepada pasien dan follow-up pasca-prosedur.

Asam asetilsalisilat Memberikan Manfaat Pencegahan yang Terbatas

Asam asetilsalisilat Memberikan Manfaat Pencegahan yang Terbatas
Dalam penelitian, asam asetilsalisilat efektif dalam menurunkan kejadian kesakitan dan kematian pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular. asam asetilsalisilat memiliki manfaat yang jelas sebagai terapi pencegahan sekunder untuk infark miokard akut dan stroke.
Pasien-pasien yang mandapatkan manfaat dari terapi dengan asam asetilsalisilat adalah pasien-pasien yang telah mengalami ruptur plak atau penyumbatan pembuluh darah yang menimbulkan gejala seperti angina stabil atau TIA (transient ischemic attack), sindrom koroner akut atau stroke iskemik. Namun manfaat asam asetilsalisilat dalam mencegah kejadian kardiovaskular pada pasien tanpa penyakit kardiovaskular belum diketahui secara pasti, seperti pada pasien-pasien dengan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes atau aterosklerosis subklinik.

Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui efek asam asetilsalisilat terhadap MCE (major cardiovascular events/ kejadian kardiovaskular mayor), seperti infark miokard nonfatal, stroke non-fatal, atau kematian karena kardiovaskular, dan juga terhadap jenis stroke, kematian karena semua sebab, dan perdarahan mayor, pada pasien pasien tanpa penyakit kardiovaskular nyata. Para ahli mengumpulkan data-data dari 9 penelitian yang melibatkan 102621 pasien, yagn diterapi dengan asam asetilsalisilat (n=52145) atau plasebo/ kontrol (n=50476).
Hasil penelitian yang dilakukan para ahli memperlihatkan bahwa setelah masa follow-up rata-rata 6,9 tahun, terapi menggunakan asam asetilsalisilat disertai dengan penurunan MCE secara bermakna (risk ratio [RR] 0,90, 95% CI 0,85–0,96, P < 0,001). Selain itu, pemberian asam asetilsalisilat berhubungan dengan stroke hemoragik (RR 1,35, 95% CI 1,01–1,81, P = 0,04) dan perdarahan mayor (RR 1,62, 95% CI 1,31–2,00, P < 0,001). Para meta-regresi, manfaat dan perdarahan karena asam asetilsalisilat tidak berhubungan dengan risiko kardiovaskular, riwayat terapi, umur, jenis kelamin dan dosis asam asetilsalisilat pada baseline.
Para ahli menympulkan bahwa bukti terkini memperlihatkan bahwa pembreian asam asetilsalisilat hanya memberikan manfaat yang terbatas bagi pasien-pasien tanpa penyakit kardiovaskular, yang manfaatnya diimbangi dengan risiko perdarahan. Untuk tiap 1000 pasien yang diterapi dengan asam asetilsalisilat dalam periode 5 tahunan, asam asetilsalisilat dapat mencegah 2,9 MCE namun menyebabkan 2,8 perdarahan mayor.

Diet Rendah Karbohidrat Mungkin Memperbaiki Kondisi Jerawat

Diet Rendah Karbohidrat Mungkin Memperbaiki Kondisi JerawatDiet dengan kadar karbohidrat yang rendah dapat untuk meningkatkan penurunan berat badan. Diet dengan rendah karbohidrat ini juga dapat memperbaiki jerawat. Meskipun beberapa studi yang dilakukan pada topik ini memberikan hasil yang beragam, namun secara teoritis, orang dengan jerawat mungkin memiliki hiperinsulinemia dan makanan yang rendah indeks glikemik (GI) dapat berkontribusi pada kontrol hormonal terhadap jerawat. Hal ini disampaikan Profesor Alan R. Shalita, ketua departemen the department of dermatology at SUNY Downstate Medical Center di New York.
Hyperinsulinemia ditandai adanya kelebihan insulin dalam darah, dan makanan dengan indeks glikemik rendah, yang dapat dilakukan dengan diet rendah karbohidrat dapat membantu mengontrol kadar gula darah. Selain rendah karbohidrat, konsumsi susu yang terukur juga diharapkan memperbaiki kondisi jerawat
Untuk jerawat yang berat, jerawat dengan jaringan parut, terapi standar adalah isotretinoin, suatu bentuk vitamin A. Perawatan laser tertentu dapat membantu untuk bekas jerawat dan jerawat, dan untuk remaja dan orang-orang dengan jerawat parah.Pilihan pengobatan lainnya untuk jerawat termasuk kontrasepsi oral tertentu dan antibiotik oral atau topikal.

Kamis, 11 Agustus 2011

Asupan DHA dan EPA Kurang pada Ibu Hamil Berpenghasilan Rendah di Amerika Serikat

Asupan DHA dan EPA Kurang pada Ibu Hamil Berpenghasilan Rendah di Amerika SerikatKonsumsi makanan yang mengandung asam lemak omega 3 sangat disarankan, khususnya bagi ibu hamil dan menyusui. Dari beberapa data yang ada, asam lemak omega 3 diklaim mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan otak dan penglihatan pada janin. Jumlah konsumsi asam lemak DHA yang dianjurkan, khususnya di Amerika Serikat, kurang lebih sebanyak 300 mg per hari. Namun, berdasarkan hasil sebuah studi cross-sectional yang dilakukan oleh dr. Nochera dkk. dari Grand Valley State University, Amerika Serikat, terungkap bahwa konsumsi DHA sedemikian tidak terpenuhi pada ibu hamil dan menyusui yang berpenghasilan rendah. Hasil studi tersebut telah dipublikasikan online di jurnal Nutrition in Clinical Practice edisi Juli 2011.
Tujuan studi cross-sectional ini ialah mencari tahu kebenaran hipotesis bahwa ibu hamil dan menyusui yang berpenghasilan rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan asupan DHA (docosahexaenoic acid) dan EPA (eicosapentaenoic acid) serta mengetahui keterkaitan antara faktor demografik dan pengukuran konsumsi DHA dan EPA. Studi dilangsungkan dari bulan  September 2007 sampai Maret 2008, menggunakan Omega-3 Fatty Acid Food Frequency Questionnaire dalam penilaian diet pada 68 ibu hamil/menyusui. Dalam studi ini, terdapat pengecualian bagi wanita yang alergi terhadap jenis makanan laut (seafood). Konsumsi DHA plus EPA bulanan dari berbagai sumber makanan diukur, dan dilakukan pula penilaian terhadap ras, etnisitas, asal daerah/negara, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan asupan vitamin prenatal yang mengandung DHA+EPA; peringatan terhadap toksisitas ikan juga dilakukan. Data dianalisis menggunakan analisis 1-way of variance serta t-tests.
Hasil studi menunjukkan bahwa asupan DHA plus EPA rata-rata adalah 1,18 gram/bulan pada seluruh ras/etnis. Populasi Afrika-Amerika lebih banyak mengonsumsi DHA plus EPA, yakni 2,79 gram/bulan, dibandingkan dengan populasi Hispanik (1,64 gram/bulan) maupun Kaukasia (0,93 gram/bulan). Penduduk asli Amerika Serikat diketahui mengonsumsi DHA plus EPA lebih banyak dari imigran (2,45 gram/bulan berbanding 1,55 gram/bulan).
Simpulannya, ibu hamil dan menyusui yang berpenghasilan rendah di Amerika serikat mengonsumsi DHA plus EPA lebih sedikit dari jumlah asupan yang dianjurkan.

Suplementasi Glutamin Bermanfaat pada Pasien dengan Kondisi Kritis

Suplementasi Glutamin Bermanfaat pada Pasien dengan Kondisi Kritis
Glutamin yang merupakan salah satu jenis asam amino non esensial yang mempunyai manfaat spesifik. Pada keadaan fisiologi, Glutamin banyak diproduksi oleh otot pada tubuh manusia, dan pada keadaan patologis produksinya akan menurun termasuk di sel usus atau enterositpun juga mengalami penurunan padahal asam amino tersebut merupakan sumber energi di sel usus. Selain itu Glutamin berhubungan dengan sistem imunitas yang mana dalam keadaan penyakit berat dimana kadar Glutamin menurun akan mengakibatkan sistem imunitas terganggu.
Pada pasien yang dalam kondisi penyakit berat sangat menurun produksinya, sehingga membutuhkan glutamin eksogenous dapat digunakan untuk menjaga metabolisme mukosa usus dan perbaikan epitel baik pada struktur maupun fungsinya. Begitu pula pada pasien operasi, suplementasi Glutamin dapat menurunkan komplikasi infeksi dan memperpendek lamanya perawatan di RS tanpa ada efek samping yang mengakibatkan kematian, Pada pasien yang kritis ternyata juga suplementasi Glutamin dapat menurunkan komplikasi serta angka kematian.
Dari sebuah penelitian terbaru yang di publikasi di Eropa telah mengevaluasi mengenai penggunaan Glutamin parenteral sebagai zat yang dapat memberikan efek  pada molekul adhesi seluler serta pelepasan kemokin yang berperan dalam inflamasi pada penelitian dengan hewan coba yang dilakukan gastrektomi total. Dan hasil penelitian yang dilakukan ini berhasil menyimpulkan bahwa pemberian Glutamin parenteral mampu menginduksi respon imun secara cepat pada keadaan trauma setelah dilakukan gastrektomi total, hal ini dipublikasikan dalam British Journal of Nutrition.
Penelitian terhadap Glutamine sepertinya bersifat konsisten sampai saat ini, terbukti dari 14 penelitian sebelumnya yang pernah membandingkan penggunaan suplementasi Glutamine hasilnya mempu menurunkan komplikasi infeksi serta memperpendek lama rawat di RS, tetapi keuntungan tersebut masih terlihat pada pasien pasca operasi dibandingkan pada pasien kritis. Kebanyakan pasien akan mencapai kadar Glutamin dalam plasma menjadi normal kembali setelah ditambahkan 20-25 g/24 jam.

kf

Selasa, 09 Agustus 2011

Terapi Azithromycin Jangka Panjang Menurunkan Eksaserbasi PPOK

Terapi Azithromycin Jangka Panjang Menurunkan Eksaserbasi PPOKPasien PPOK (penyakit paru obstruktif kronis) yang harus menjalani trakeostomi berisiko tinggi untuk mengalami eksaserbasi dan dirawat inap. Untuk menilai efikasi dan keamanan azithromycin pada pasien PPOK derajat berat, dilakukan sebuah studi pendahuluan, multicenter, acak, tanpa kontrol. Pasien (n= 22) mendapatkan azithromycin 500 mg, 3 hari seminggu selama 6 bulan atau perawatan standar trakeostomi. Pasien dipantau selama 6 bulan terapi dan dilakukan follow-up selama 6 bulan.
Hasil studi menunjukkan bahwa jumlah eksaserbasi setelah 3 bulan terapi pada kelompok azithromycin lebih rendah secara bermakna dibandingkan pasien dengan perawatan standar (p = 0,001) dan jumlah rawat inap pada kelompok azithromycin lebih rendah secara bermakna dibandingkan pasien dengan perawatan standar (p = 0,02). Azithromycin secara bermakna memperbaiki kualitas hidup pasien dibandingkan yang hanya mendapat perawatan standar. Tidak dijumpai efek samping yang berat pada kelompok azithromycin.
Sebuah uji klinik (tersamar ganda, prospektif, dengan kontrol plasebo) juga dilakukan oleh dr. Albert dkk. baru-baru ini untuk menilai potensi antibiotik macrolide pada PPOK. Pasien mendapatkan azithromycin 250 mg (n= 558) dan plasebo (n= 559) satu kali sehari selama 1 tahun. Hasilnya memperlihatkan bahwa azithromycin mengurangi frekuensi eksaserbasi PPOK secara bermakna (p =0,004), tetapi menimbulkan efek samping berupa penurunan pendengaran yang lebih besar secara bermakna (p=0,022). Walaupun penurunan pendengaran bermakna secara statistik, rata-rata perubahan desibel yang terjadi sangatlah kecil, 0,7 desibel pada kelompok azithromycin.
Simpulannya, pemberian azithromycin sekali sehari dalam jangka panjang secara bermakna menurunkan eksaserbasi pada pasien PPOK. Namun, terapi dengan azithromycin ini juga berkaitan dengan peningkatan efek samping (penurunan pendengaran) yang bermakna. Dengan demikian, pemantauan fungsi pendengaran sebaiknya dilakukan selama pemberian azithromycin.

Ceftriaxone untuk Meningitis Bakterialis pada Anak

Ceftriaxone untuk Meningitis Bakterialis pada AnakMeningitis bakterialis akut masih merupakan penyebab penting mortalitas dan morbiditas anak di seluruh dunia. Di negara maju, terdapat 2 perubahan dalam epidemiologi meningitis bakterialis. Yang pertama adalah bakteri Haemophilus influenzae tipe B yang merupakan penyebab dari 70% kasus meningitis bakterialis pada anak <5 tahun telah tereradikasi dengan adanya vaksin yang dihasilkan. Yang kedua, munculnya bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten penicillin dan cephalosporin.
Antibiotik beta-lactam sulit menembus sawar darah otak yang normal (sekitar 0,5-2% dari kadar puncak dalam serum), tetapi pada keadaan meningitis, penetrasi beta-lactam ke dalam sawar darah otak meningkat (sampai 55% dari kadar puncak dalam serum). Untuk hasil penetrasi antibiotik ke sistem saraf pusat yang optimal, dosis parenteral yang maksimum harus dipertahankan selama terapi karena bila inflamasi berkurang, penetrasi antibiotik ke dalam sawar darah otak juga berkurang. Kadar penicillin berkurang hampir 50% pada hari ke 5 terapi. Lama terapi yang optimal dengan ceftriaxone untuk meningitis bakterialis anak masih bervariasi.
Studi ekuivalensi dilakukan oleh Molyneux dkk. untuk membandingkan efikasi terapi ceftriaxone 5 hari dan 10 hari pada meningitis bakterialis anak usia 2 bulan-12 tahun yang disebabkan S. pneumoniae, H. influenzae tipe B, atau N. meningitidis. Studi multi-country ini menggunakan metode acak tersamar ganda dengan kontrol plasebo. Pasien mendapat ceftriaxone parenteral 80-100 mg sekali sehari selama 5 hari (n = 496) atau 10 hari (n = 508). Terdapat 2 anak yang mengalami kekambuhan pada terapi selama 5 hari sementara tidak terdapat kekambuhan pada terapi selama 10 hari. Tidak terdapat kegagalan bakteriologi pada kedua kelompok terapi. Efek samping pada kedua kelompok sedikit dan sama. Studi sebelumnya pada tahun 2002 membandingkan terapi dengan ceftriaxone selama 7 hari atau 10 hari pada anak usia 3 bulan-12 tahun dengan meningitis bakterialis akut. Hasilnya menunjukkan bahwa outcome klinis pasien yang diterapi dengan ceftriaxone 7 hari sebanding dengan 10 hari. Terapi selama 7 hari berkaitan dengan infeksi nosokomial dan lama rawat inap yang lebih sedikit.
Berdasarkan dua studi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian ceftriaxone pada meningitis bakterialis anak (selain neonatus) dalam durasi yang lebih singkat memiliki outcome yang sama dengan durasi yang lebih lama.

Asam Folat Menghambat Penurunan Fungsi Pendengaran Usia Lanjut

Asam Folat Menghambat Penurunan Fungsi Pendengaran Usia Lanjut
Berdasarkan studi yang dipresentasikan pada meeting tahunan Perhimpunan ahli THT Amerika Serikat (American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) Annual Meeting) di San Diego tahun 2009 baru-baru ini.  Dalam salah satu presentasi disebutkan, pemberian suplementasi asam folat dapat mengurangi/menunda resiko terjadinya hilangnya pendengaran (hearing loss), dan sebaliknya suplementasi lainnya termasuk antioksidan vitamin C, E dan beta caroten tidak menunjukkan manfaat yang bermakna terhadap penurunan pendengaran ini. 
Menurut the National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD), kasus penurunan pendengaran ini lebih banyak terjadi  pada pria daripada wanita. Secara keseluruhan, kurang lebih 36 juta laki-laki dilaporkan mempunyai penurunan pendengaran dalam berbagai derajat keparahan beberapa macam tingkat.
Dan studi terbaru penggunaa asam folat untuk penurunan pendengaran dilakukan secara kohort berdasarkan data dari the Health Professionals Follow-up Study selama tahun 1986 sampai 2004, dengan jumlah subyek sebanyak 51.529 tenaga kesehatan pria. Pada populasi ini, peneliti mengindentifikasikan sekitar 3.559 kasus penurunan pendengaran. Mereka lalu mengevaluasi data nutrisi dan menemukan bahwa pria tua di atas 60 tahun yang mendapatkan dan memelihara nutrisi dengan asam folat dengan dosis cukup tinggi mempunyai penurunan resiko terjadinya penurunan hilangnya pendengaran sampai 20%. Adapun Folat secara natural ditemukan dalam makanan, serta bentuk sintetik pada suplemen dan penambah makanan.
Walaupun studi baru-baru ini juga tidak menemukan data mengenai keuntungan/ benefit dari penggunaan antioksidan vitamin C, E dan beta caroten, namun pada hasil studi sebelumnya, yang dilakukan  pada hewan coba menunjukkan bahwa penggunaan antioksidan, bersama dengan Magnesium dapat mencegah kerusakan permanen dari hilang fungsi pendengaran. Studi lainnya pada tahun 2007, menemukan bahwa suplementasi asam folat dapat menunda hilangnya pendengaran pada pria dan wanita yang berusia 50 sampai  70 tahun.
Asam folat dapat mengurangi resiko hilangnya pendengaran sampai sekitar 20% pada pria dan wanita lanjut usia 50-70 tahun.


Senin, 08 Agustus 2011

Risedronate plus Cholecalciferol untuk Osteoporosis

Risedronate plus Cholecalciferol untuk OsteoporosisOsteoporosis merupakan keadaan yang  secara karakteristik ditandai dengan hilangnya kepadatan tulang yang normal, mengakibatkan tulang mudah patah. Keadaan ini tidak menyebabkan gejala kecuali jika sudah mengalami kejadian patah tulang. Diperlukan tindakan pencegahan maupun pengobatan terhadap keadaan osteoporosis. Pengobatan osteoporosis umumnya menggunakan obat golongan bifosfonat dan vitamin D. Salah satu obat golongan bifosfonat adalah risedronate, yang dapat diberikan per hari ataupun per minggu. Mekanisme kerja risedronate adalah sebagai anti-resorpsi tulang. Para peneliti di Korea, yang dipimpin oleh dr. Chung, melakukan sebuah studi menggunakan kombinasi risedronate seminggu sekali dan cholecalciferol (vitamin D) dalam satu pil. Hasilnya memperlihatkan bahwa efikasi dan keamanan kombinasi tersebut cukup memuaskan pada pasien-pasien osteoporosis, sebagaimana dipublikasikan di jurnal Clinical Endocrinology edisi Juni 2011.
Dalam studi ini, tim peneliti mengevaluasi efikasi dan keamanan risedronate secara acak, tersamar ganda, prospektif, selama 16 minggu dengan dan tanpa cholecalciferol (25-hidroksi vitamin D [25(OH)D]) pada 164 pasien dewasa pengidap osteoporosis. Para pasien diberi risedronate 35 mg dan cholecalciferol 5600 IU per minggu yang dikemas dalam satu pil (RSD+) atau diberi risedronate 35 mg saja (RSD). Para peneliti mengukur kadar 25(OH)D dalam serum, hormon paratiroid (PTH), penanda tulang, dan parameter fungsi otot pada awal (baseline) dan setelah 16 minggu pengobatan.
Setelah 16 minggu pengobatan, rerata kadar cholecalciferol serum meningkat secara bermakna dari 39,8 menjadi 70,8 nmol/L pada kelompok RSD+ dan menurun secara bermakna dari 40,5 menjadi 35 nmol/L pada kelompok RSD. Walaupun tercatat peningkatan kadar PTH serum secara bermakna pada kedua kelompok saat awal dan sepanjang studi, kelompok RSD memperlihatkan peningkatan yang lebih besar dibanding kelompok RSD+, yaitu 13,6 berbanding 4,8 ng/L (p=0,0005). Pada kedua kelompok, bone-specific alkaline phosphatase (BSAP) dan C-terminal telopeptide (CTX) serum menurun dengan cepat, tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna antar-kelompok, demikian pula untuk parameter fungsi ekstremitas bawah. Secara keseluruhan, insidens efek samping tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.
Simpulannya, pada pasien osteoporosis, pemberian pil kombinasi risedronate dan cholecalciferol per minggu menunjukkan efikasi anti-resorpsi yang lebih baik dibanding risedronate saja (dalam konteks remodeling turn-over tulang) serta menghasilkan peningkatan kadar cholecalciferol serum yang lebih besar setelah periode pengobatan 16 minggu tanpa menimbulkan efek samping yang bermakna.

Penggantian Cairan Secara Dini Penting dalam Pencegahan Gagal Ginjal pada Anak dengan Sindrom Uremik Hemolitik

Penggantian Cairan Secara Dini Penting dalam Pencegahan Gagal Ginjal pada Anak dengan Sindrom Uremik HemolitikGagal ginjal pada sindrom uremik hemolitik lebih jarang terjadi pada anak yang mengalami diare akibat infeksi E. Coli yang virulen apabila penggantian cairan IV dilakukan lebih dini. Temuan ini diungkap lewat penelitian yang dilakukan oleh dr. Phillip I. Tarr dan kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas Washington, St. Louis, Missouri, yang dipublikasikan online di Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine akhir Juli 2011. Para peneliti menegaskan bahwa sindrom uremik hemolitik (hemolytic uremic syndrome, HUS) umumnya menyertai diare yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksin Shiga, yang tersering adalah E. Coli O157:H7. Lebih dari 900 kasus HUS dilaporkan terjadi di Eropa dan Amerika Utara semenjak munculnya wabah E. Coli di Jerman bulan Mei yang lalu.  
"Pathological cascade" yang memicu terjadinya gagal ginjal pada HUS dapat dihentikan dengan jalan memperbaiki perfusi ginjal, asalkan risiko gagal ginjal dapat diketahui cukup dini selama fase diare. Kenyataannya, sebuah studi terdahulu menunjukkan bahwa ekspansi volume IV berkhasiat nefroprotektif dalam situasi ini. Guna menginvestigasi lebih lanjut, tim peneliti melangsungkan sebuah studi prospektif observasional pada 50 anak berusia 1 hingga 17 tahun dengan diagnosis HUS yang dirawat di 11 rumah sakit anak di Amerika Serikat dan Skotlandia. Sebanyak 34 anak di antaranya mengalami oliguria singkat yang diikuti anuria berkepanjangan.
Tim peneliti menemukan bahwa anak yang mengalami HUS oligoanurik diketahui mendapat asupan cairan dan natrium yang lebih sedikit selama perawatan pra-HUS dibanding anak yang tidak mengalami HUS oligoanurik. Ekspansi volume secara dini menghasilkan perbedaan paling mencolok pada anak-anak tersebut. Sebanyak 21 dari 25 anak (84%) yang tidak diberi cairan IV dalam 4 hari pertama masa perawatannya mengalami oligoanuria, tetapi hanya 13 dari 25 anak (52%) yang mendapat cairan dalam periode itu mengalami oligoanuria. Hasil tersebut diterjemahkan ke dalam risiko relatif oligoanuria sebesar 1,6 (95% CI 1,1-2,4; p=0,02) ketika tidak ada cairan intravena yang diberikan dalam 4 hari pertama masa perawatan. 
"Dari gambaran klinis, kita sebenarnya dapat mengenali pasien yang telah terinfeksi E. Coli O157:H7 dan yang berisiko mengalami HUS," tutur dr. Tarr. Tim peneliti menganjurkan agar diagnosis mikrobiologis dan perawatan di rumah sakit dilakukan sedini mungkin bagi pasien-pasien yang dicurigai terinfeksi, mengingat interval untuk tindakan ekspansi volume yang terefektif dan teraman boleh jadi cukup singkat. "Meskipun demikian," dr. Tarr menggarisbawahi, "ekspansi volume tidak sepenuhnya bisa mencegah oligoanuria pada kasus HUS." "Cara terefektif untuk mencegah HUS oligoanurik ialah melalui pencegahan infeksi E. Coli O157:H7," lanjut beliau.

Levetiracetam Memperlambat Progresivitas Demensia Alzheimer

Levetiracetam Memperlambat Progresivitas Demensia Alzheimer
Levetiracetam, obat yang digunakan untuk mengatasi epilepsi, dapat menurunkan hiperaktivitas hipokampus pada pasien gangguan kognitif ringan amnestik (amnestic mild cognitive impairment, aMCI) dan terbukti berhasil dalam mencegah atau memperlambat progresivitas penyakit Alzheimer. Hiperaktivitas hipokampus berkontribusi pada masalah daya ingat, dan peneliti sudah menemukan melalui penelitian yang mendasar bahwa levetiracetam dosis sangat rendah, yang jauh lebih rendah dibanding dengan dosis untuk epilepsi, berhasil mengendalikan hiperaktivitas ini.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hiperaktivitas hipokampus pada aMCI bukanlah hal yang baik untuk aMCI seperti apa yang pernah dikatakan sebelumnya, malah sebaliknya hiperaktivitas hipokampus memberikan perburukan pada daya ingat. Hal ini memutarbalikkan gagasan yang menyatakan bahwa aktivitas yang lebih besar pada otak memberikan keuntungan pada fungsi otak. Padahal aktivitas yang lebih besar tampaknya menjadi bagian dari disfungsi yang melatarbelakangi masalah daya ingat.
Dalam penelitian yang dilakukannya, dr. Gallagher et al, menganalisis apakah pengobatan dengan levetiracetam akan menurunkan hiperaktivitas hipokampus, khususnya hiperaktivitas yang terlokalisir pada daerah CA3 di hipokampus dan memperbaiki daya ingat pada pasien dengan aMCI stadium dini. Penelitian ini menggunakan metode acak berkontrol plasebo dan menyilang dimana 17 pasien dengan aMCI dan orang sehat sebagai kontrol dengan jumlah dan usia yang sama menyelesaikan penelitian selama 2 x 8 minggu yang dipisahkan dengan periode wash out  selama 4 minggu. Subyek pada kelompok kontrol diberikan plasebo pad kedua fase perawatan, dimana pasien dengan aMCI diberikan plasebo selama fase pengobatan pertama dan levetiracetam dosis rendah, 125 mg dua kali sehari, selama fase pengobatan kedua.
Setelah 2 minggu fase pengobatan, peneliti mengevaluasi daya ingat subyek penelitian dan melakukan MRI (magnetic resonance imaging) pada otak mereka. MRI dilakukan selama subyek penelitian melakukan hippocampal-dependent task sehingga kesalahan daya ingat dapat dianalisis.Peneliti menemukan bahwa levetiracetam menyebabkan hiperaktivitas hipokampus berkurang ke dalam kisaran normal pada subyek penelitian dengan aMCI dan bahwa performa data ingat pasien juga membaik ke taraf subyek kontrol yang sehat.
Kekurangan dari penelitian ini adalah jumlah subyek penelitian yang masih sedikit dan durasi penelitian yang sangat singkat sehingga menurut William Thies, PhD dari Alzheimers Association, masih banyak pertanyaan  yang belum bisa terjawab, dan efek obat dari hasil dari penelitian ini belum diketahui apakah akan bertahan lama. Karena itu penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan aktivitas otak dan kaitannya dengan Alzheimer masih perlu dilakukan.

Jumat, 05 Agustus 2011

Trauma Kepala Mungkin Meningkatkan Risiko Stroke

Trauma Kepala Mungkin  Meningkatkan Risiko Stroke
Orang dewasa yang mendapatkan benturan kepala (TBI-Traumatic Brain Injury) yang cukup lama akan meningkatkan risiko mengalami stroke, terutama dalam 3 bulan pertama setelah cedera, hal ini merupakan kesimpulan dari sebuah studi yang dilakukan di Taiwan dan dipublikasikan dalam jurnal Stroke secara online pada bulan Juli 2011. Dalam artikelnya, Herng-Ching Lin, PhD, dan rekan dari Taipei Medical University, mengatakan itu wajar untuk berspekulasi bahwa kerusakan serebrovaskular di kepala disebabkan oleh TBI dapat memicu stroke hemoragik atau iskemik. Walaupun bukti hubungan tersebut saat ini masih sedikit, salah satunya dalam studi tersebut.
Tim Dr. Lin menggunakan database dari asuransi nasional Taiwan untuk menganalisis 23.199 pasien TBI dan dibandingkan dengan  69.597 pasien non-TBI. Rata-rata usia subyek adalah 42 tahun, dan 54% adalah laki-laki. Setiap individu itu ditindaklanjuti selama 5 tahun. Dalam 3 bulan pertama setelah TBI, stroke terjadi pada 675 pasien TBI (2,9%) vs 207 pasien non-TBI (0,30%). Selama 5 tahun, pasien yang mengalamai TBI 1.901 (8,2%) mengalami stroke dibandingkan dengan 2710 non-TBI pasien (3,9%).
Setelah disesuaikan untuk karakteristik sosiodemografi dan komorbiditas yang dipilih, TBI secara independen terkait dengan peningkatan risiko stroke lebih dari 10 kali lipat pada 3 bulan pertama setelah cedera dan peningkatan risiko yang lebih dari 4 kali lipat hingga 1 tahun setelah cedera. Bahkan pada 5 tahun, pasien TBI memiliki risiko sekitar 2 kali lipat peningkatan relatif stroke untuk penduduk non-TBI.
Dr. Lim, dkk. berdasarkan studi tersebut menyimpulankan bahwa stroke merupakan salah satu masalah neurologis yang mungkin meningkat risikonya setelah terjadi benturan kepala (TBI).

kf.

Tes Imunokimia Darah Samar Feses Efektif untuk Skrining Lesi Saluran Cerna Bagian Bawah

Tes Imunokimia Darah Samar Feses Efektif untuk Skrining Lesi Saluran Cerna Bagian Bawah
Tes immunochemical fecal occult blood (FOB) non-invasif efektif untuk skrining adanya lesi pada saluran cerna bagian bawah, hal ini menurut hasil penelitian kohort prospektif yang dilaporkan secara online pada 2 Agustus di Canadian Medical Association Journal. Penelitian sebelumnya telah menyarankan bahwa tes darah samar dalam tinja memiliki kekhususan yang unggu  untuk mendeteksi perdarahan di saluran cerna yang lebih rendah bahkan jika terjadi perdarahan di saluran bagian atas, hal ini menurut para peneliti yaitu Dr. Ming-Shiang Wu, dan kolega dari the Department of Internal Medicine at National Taiwan University.
Studi yang dilakukan dengan mengambil sampel antara Agustus 2007 dan Juli 2009, total 2.796 orang tanpa gejala, dengan usia minimal 18 tahun direkrut di Taiwan untuk menjalani tes FOB, kolonoskopi, dan Esofagogastroduodenoskopi. Pasien dengan hasil tes tinja baik positif dan negatif selanjutnya dibandingkan dengan prevalensi lesi saluran cerna bawah dan atas.
Hasil tes tinja positif pada 397 peserta (14,2%). Untuk prediksi yang lebih rendah lesi saluran cerna, sensitivitas uji 24,3%, spesifisitas 89,0% adalah, nilai prediksi positif 41,3%, nilai prediksi negatif 78,7%, rasio kemungkinan positif 2,22, rasio kemungkinan negatif 0,85, dan akurasi adalah 73,4 %.
Dibandingkan dengan peserta yang memiliki hasil tes darah tinja negatif, mereka dengan hasil positif memiliki prevalensi yang lebih tinggi lesi di saluran pencernaan bagian bawah (41,3% vs 21,3%, P<0.001). Tidak perbedaan yang signifikan antara kelompok dalam prevalensi lesi pada saluran pencernaan bagian atas (20,7% vs 17,5%; P=0.12). Hasil tes tinja yang positif 27 (96,4%) dari 28 peserta didiagnosis dengan kanker usus besar tetapi tidak satupun dari 3 peserta didiagnosis dengan kanker esofagus atau lambung (P<0.001).
Hasil tersebut menunjukkab bahwa tes immunochemical fecal occult blood merupakan tesyang spesifik untuk memperkirakan adanya lesi pada saluran cerna bagian bawah, namun tidak adekuat untuk memprediksi adanya lesi pada saluran cerna bagian atas.

kf.

Suplementasi Citicoline Meningkatkan EPC (Endothelial Progenitor Cell)

Suplementasi Citicoline Meningkatkan EPC (Endothelial Progenitor Cell) 
Peningkatan pada sel progenitor endothelial yang bersirkulasi (EPCs) berkaitan dengan hasil yang lebih baik pada pasien dengan stroke iskemik akut. CDP-choline (citicoline) meningkatkan plastisitas otak setelah stroke. Hal ini terungkap dari hasil penelitian suplementasi citicoline yang dilakukan oleh Sobrino T, dkk yang dipublikasikan dalam Neurolgical Research tahun 2011 ini.
Sebanyak empat puluh delapan pasien dengan stroke iskemik non-lakunar yang pertama secara berturut-turut diikutsertakan di dalam penelitian dalam 12 jam sejak pertama serangan. Pasien menerima pengobatan dengan citicoline 2000 mg/hari (n=26) atau tidak menerima pengobatan (plasebo) (n=22) untuk fase akut stroke iskemik selama 6 minggu. Koloni EPC dihitung sebagai colony forming unit-endothelial cell (CFU-EC) dini pada saat mulai pengobatan dan pada hari ke-7. Peneliti mendefinisikan peningkatan EPC selama minggu pertama sebagai perbedaan jumlah dari CFU-EC antara hari ke-7 dan saat mulai pengobatan.
CFU-EC pada awal pengobatan sama pada setiap pasien pada kelompok pengobatan citicoline dan kelompok non-pengobatan (7,7 + 7,3 CFU-EC, p=0,819). Namun demikian, pasien yang diterapi dengan citicoline dan recombinant tissue-plasminogen activator (r-TPA) memperlihatkan peningkatan EPC yang lebih besar dibandingkan dengan pasien yang hanya diterapi dengan citicoline atau yang tidak diobati (35,4 + 15,9 versus 8,4 + 8,1 versus 0,9 + 10,2 CFU-EC, P<0,0001). Dalam model logistik, pengobatan citicoline [odds ratio (OR), 17,6; confidence interval (CI) 95%v 2,3-137,5; P=0,006] dan pengobatan bersamaan dengan citicoline dan r-TPA (OR, 108,5; CI 95% 2,9 - 1094,2; P=0,001) secara bebas berkaitan dengan peningkatan EPC > 4 CFU-EC.
Dan kesimpulan dalam studi tersebut bahwa pemberian citicoline dan pemberian citicoline bersama dengan r-TPA dapat meningkatkan konsentrasi EPC pada stroke iskemik akut.

kf.

Kombinasi Ibuprofen adn Famotidine Mengurangi Efek Samping Saluran Cerna akibat Penggunaan NSAIDs

Kombinasi Ibuprofen adn Famotidine Mengurangi Efek Samping Saluran Cerna akibat Penggunaan NSAIDs
Terapi menggunakan sediaan yang mengandung kombinasi ibuprofen plus famotidine dapat menurunkan efek samping saluran cerna bagian atas pada pasien-pasien yang memerlukkan terapi dengan obat-obatan golongan NSAID (Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs). Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian fase-3, REDUCE (Registration Endoscopic Study to Determine Ulcer Formation) yang dilakukan oleh dr. Michael Weinblatt dan rekan dari Brigham and Womens Hospital di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini telah dipresentasikan pada pertemuan tahunan the American College of Rheumatology.
Di Amerika Serikat, kurang lebih 43 juta penderita osteoartritis dan rematoidartritis diterapi secara rutin dengan NSAIDs. Terapi menggunakan NSAIDs pada pasien-pasien ini efektif mengatasi nyeri pada pasien. Namun, pemberian NSAIDs dapat merusak mukosa saluran cerna, terutama pada bagian lambung dan usus halus bagian atas. Kerusakan pada bagian mukosa ini dapat mengakibatkan timbulnya ulkus dan perdarahan saluran cerna. Kurang lebih 30% pasien yang diterapi dengan NSAIDs akan mengalami efek samping saluran cerna, dan pada lebih dari 10% terapi dengan NSAIDs terpaksa dihentikan. Efek samping saluran cerna karena NSAIDs biasanya tidak memperlihatkan tanda-tanda yang jelas, dan biasanya tidak terdiagnosis hingga pasien masuk ke UGD (Unti Gawat Darurat). Khususnya, 60 – 80% komplikasi saluran cerna akibat terapi NSAIDs terjadi tanpa adanya gejala awal.
Data-data menunjukkan bahwa pemberian antagonis reseptor H2 dosis tinggi dapat memberikan perlindungan terhadap kejadian luka saluran cerna yang disebabkan obat-obat golongan NSAIDs. Untuk meneliti efektifitas dan keamanan terapi kombinasi NSAIDs plus antagonis reseptor H2 terhadap mukosa saluran cerna, dr. Michael Weinblatt dan rekan melakukan penelitian REDUCE.
Penelitian REDUCE merupakan suatu penelitian yang membandingkan efektifitas dan keamanan sediaan baru HZT-501, yang mengandung kombinasi ibuprofen 800 mg dan famotidine 26,6 mg, dengan ibuprofen monoterapi. Penelitian ini merupakan penelitian acak fase-3 yang berlangsung selama 24 minggu, dan melibatkan 1533 pasien dengan usia 40 dan 80 tahun yang diperkirakan memerlukkan terapi NSAID paling sedikit selama 6 bulan. Pasien-pasien ini tidak memiliki riwayat komplikasi pencernaan bagian atas, dan secara acak diberikan terapi HZT-501 (n=1022) atau ibuprofen 800 mg (n=511) (kedua macam terapi ini diberikan 3 kali sehari). Pemberian aspirin dengan dosis ≤325 mg sehari dan antikoagulan oral pada pasien yang memerlukkan diizinkan dalam penelitian ini. Evaluasi dilakukan pada minggu ke-8, ke-16, dan ke-24.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa HZT-501 mengurangi kejadian ulkus saluran cerna bagian atas lebih baik dibandingkan dengan terapi ibuprofen monoterapi, baik untuk keseluruhan populasi penelitian, maupun pada sub-kelompok yang diterapi dengan aspirin dosis rendah. Sebagai tambahan, pasien-pasien yang drop-out karena efek samping lebih rendah pada kelompok terapi HZT-501 dibandingkan dengan kelompok ibuprofen monoterapi.
Dr. Michael Schiff dari the University of Colorado, di Denver, mengomentari bahwa hingga kini, ibuprofen merupakan salah satu terapi yang banyak diberikan pada pasien-pasien dengan artitis, dan juga jenis-jenis nyeri yang lain. Namun pemberiannya ini tidak lepas dari buruknya kepatuhan pasien karena efeknya pada pencernaan. Sediaan HZT-501 ini dapat memperbaiki kepatuhan pasien dan mengurangi efek samping saluran cerna, seperti perdarahan saluran cerna dan menurunkan angka rawat inap.
Peneliti lainnya, dr. Jay L. Goldstein dari the University of Illinois at Chicago, menekankan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan manfaat dari menurunkan keasaman lambung dalam menurunkan kejadian ulkus pada lambung karena penggunaan NSAID. Penggunaan terapi kombinasi seperti ini (ibuprofen plus famotidine) dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan memperbaiki outcome jangka panjang.

kf.

Kamis, 04 Agustus 2011

Trauma Kepala Mungkin Meningkatkan Risiko Stroke

Trauma Kepala Mungkin  Meningkatkan Risiko Stroke
Orang dewasa yang mendapatkan benturan kepala (TBI-Traumatic Brain Injury) yang cukup lama akan meningkatkan risiko mengalami stroke, terutama dalam 3 bulan pertama setelah cedera, hal ini merupakan kesimpulan dari sebuah studi yang dilakukan di Taiwan dan dipublikasikan dalam jurnal Stroke secara online pada bulan Juli 2011. Dalam artikelnya, Herng-Ching Lin, PhD, dan rekan dari Taipei Medical University, mengatakan itu wajar untuk berspekulasi bahwa kerusakan serebrovaskular di kepala disebabkan oleh TBI dapat memicu stroke hemoragik atau iskemik. Walaupun bukti hubungan tersebut saat ini masih sedikit, salah satunya dalam studi tersebut.
Tim Dr. Lin menggunakan database dari asuransi nasional Taiwan untuk menganalisis 23.199 pasien TBI dan dibandingkan dengan  69.597 pasien non-TBI. Rata-rata usia subyek adalah 42 tahun, dan 54% adalah laki-laki. Setiap individu itu ditindaklanjuti selama 5 tahun. Dalam 3 bulan pertama setelah TBI, stroke terjadi pada 675 pasien TBI (2,9%) vs 207 pasien non-TBI (0,30%). Selama 5 tahun, pasien yang mengalamai TBI 1.901 (8,2%) mengalami stroke dibandingkan dengan 2710 non-TBI pasien (3,9%).
Setelah disesuaikan untuk karakteristik sosiodemografi dan komorbiditas yang dipilih, TBI secara independen terkait dengan peningkatan risiko stroke lebih dari 10 kali lipat pada 3 bulan pertama setelah cedera dan peningkatan risiko yang lebih dari 4 kali lipat hingga 1 tahun setelah cedera. Bahkan pada 5 tahun, pasien TBI memiliki risiko sekitar 2 kali lipat peningkatan relatif stroke untuk penduduk non-TBI.
Dr. Lim, dkk. berdasarkan studi tersebut menyimpulankan bahwa stroke merupakan salah satu masalah neurologis yang mungkin meningkat risikonya setelah terjadi benturan kepala (TBI).

Depresi Memperlama dan Meningkatkan Komplikasi Penyembuhan Pasca Bedah

Depresi Memperlama dan Meningkatkan Komplikasi Penyembuhan Pasca Bedah Kolorektal

Dari data-data sebelumnya, depresi akan meningkatkan angka morbiditas dan memperberat kondisi daripenyakit kronik. Studi terbaru menunjukkan bahwa depresi mungkin akan memperlama dan meningkatkan komplikasi pada masa penyembuhan dari pasien-pasien yang menjalani tindakan pembedahan kolorektal. Hal ini disampaikan oleh Blentine CJ., dkk dalam Journal of Gastrointestinal Surgery tahun 2011.
Dalam studi retrospektif ini, teridentifikasi sebanyak 292.191 pasien yang menjalani operasi usus besar dan rektum menggunakan ataupun diambil dari the 2008 Nationwide Inpatient Sample. Dan digunakan regresi multivariat untuk mengevaluasi pengaruh depresi terhadap lama tinggal dan disposisi debris.
Dari studi tersebut, depresi preoperatif terdiagnosa pada sebanyak 20,039 (6.9%) pasien. Rata-rata lama rawat untuk depresinya adalah sebesar(10,4 hari, 95% (CI) 10,04-10,76) secara signifikan lebih lama dibandingkan dengan pasien tanpa depresi (9,64 hari, 95% CI 9,48-9,81). Setelah disesuaikan untuk faktor-faktor yang berkontribusi lainnya, depresi masih memperkirakan memperlama tinggal. Selain itu, pasien depresi kurang memungkinkan untuk melanjutkan fungsi normal, 40% diperlukan baik kesehatan rumah atau waktu dalam fasilitas yang terampil berikut pulang dari rumah sakit perawatan akut.
Di antara pasien yang menjalani operasi kolorektal, depresi dikaitkan dengan tinggal di rumah sakit yang lebih lama dan kemungkinan secara signifikan lebih tinggi dalam memerlukan bantuan keperawatan yang terampil setelah pulang.

Pemberian Vaksin Flu Dosis Penuh pada Bayi Cukup Aman dan Lebih Imunogenik

Pemberian Vaksin Flu Dosis Penuh pada Bayi Cukup Aman dan Lebih Imunogenik
Selama ini, bayi dan batita usia 6 hingga 23 bulan di Amerika Utara mendapat vaksinasi flu berupa setengah dosis split-virus trivalent influenza vaccine (TIV). Namun, sebuah randomized controlled trial di Kanada mengungkap bahwa pemberian vaksin dalam dosis penuh ternyata lebih imunogenik dan tidak meningkatkan risiko demam. Penelitian tersebut dilakukan oleh dr. Danuta M. Skowronski dan kolega dari British Columbia Centre for Disease Control, Vancouver, yang hasilnya dipublikasikan di jurnal Pediatrics awal Agustus 2011. 
Para peneliti menegaskan bahwa di negara lain, seperti di Inggris, pemberian TIV dosis dewasa (0,5 mL) kepada bayi dan batita diperbolehkan, tetapi dewan penasihat Amerika Utara merekomendasikan pemberian vaksin separuh dari dosis dewasa karena ada kekhawatiran akan timbulnya kejadian ikutan (demam dan kejang demam). Namun, respons antibodi terhadap regimen setengah dosis itu bervariasi antar-anak. Karena regimen vaksin yang demikian diketahui kurang reaktogenik dibanding formulasi sebelumnya, tim peneliti melakukan studi guna membandingkan efek pemberian TIV dua dosis penuh dengan dua dosis terbagi (masing-masing setengah dosis penuh) pada 252 anak usia 6 hingga 23 bulan. Outcome imunogenisitas primernya ialah tingkat seroproteksi, yang diindikasikan oleh titer inhibisi hemaglutinasi sebesar 40 atau lebih, sementara outcome reaktogenisitas primernya adalah demam 38 derajat Celsius atau lebih dalam 3 hari setelah masing-masing injeksi.
Sekalipun regimen dosis penuh dan setengah dosis penuh menghasilkan tingkat seroproteksi yang kurang lebih sama (melampaui 85%) pada batita usia 12-23 bulan, para peneliti menemukan bahwa tingkat respons secara bermakna lebih tinggi pada bayi yang diberi vaksin dosis penuh. Pada kelompok usia ini, khususnya, 10% superiority margin terpenuhi untuk komponen H3N2 dan B/Yamagata dalam vaksin tersebut, tetapi tidak untuk komponen H1N1. Dari seluruh partisipan, insidens demam tercatat sebesar 5,6% pada resipien dosis penuh dan 12,7% pada resipien setengah dosis penuh - sebuah perbedaan yang tidak bermakna.
"Berdasarkan studi kami, dengan memberikan vaksin dalam dua dosis penuh (masing-masing 0,5 mL) sebagaimana pada anak yang lebih besar, terbuka peluang untuk meningkatkan perlindungan pada bayi yang sangat rentan, tanpa memperbesar reaktogenisitas," dr. Skowronski menyimpulkan. Beliau menambahkan, "Seandainya terkonfirmasi, hasil studi ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap rekomendasi dosis vaksin influenza pada kelompok usia yang amat muda ini." 

Clopidogrel Dosis Ganda, Memperbaiki Efek Antiplatelet Akibat Penggunaan PPI

Clopidogrel Dosis Ganda, Memperbaiki Efek Antiplatelet Akibat Penggunaan PPI
Penurunan efektifitas clopidogrel karena pemberian clopidogrel bersamaan dengan PPI dapat diatasi dengan meningkatkan dosis clopidogrel hingga 2 kali lipat, atau menggantikan PPI dengan ranitidine. Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh dr. Pamela Moceri dan rekan dari MD the Cardiology Department, Pasteur University Hospital of Nice, Nice, Perancis

Clopidogrel telah digunakan secara luas untuk mengatasi kajadian aterotrombotik, baik pada pasien-pasien dengan kejadian kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer, maupun pada pasien-pasien dengan risiko tinggi kardiovaskular. Dalam penelitian-penelitian seperti CAPRIE, CURE, CLARITY-TIMI serta penelitian lainnya, efektifitas clopidogrel tidaklah diragukan lagi sebagai salah satu anti-platelet andalan yang dapat menurunkan kejadian kardiovaskular. Obat-obat golongan PPI (proton pump inhibitor) seringkali diberikan bersamaan dengan clopidogrel-aspirin untuk mencegah perdarahan lambung. Namun penelitian OCLA (OCLA: Influence of Omeprazole on the Antiplatelet Action of Clopidogrel Associated to Aspirin), memperlihatkan bahwa omeprazole secara bermakna menurunkan kemampuan clopidogrel dalam menghambat trombosit sebagaimana diperlihatkan dari hasil pengujian dengan VASP (vasodilator-stimulated phosphoprotein phosphorylation).
Hasil dari penelitian ini meningkatkan perhatian terhadap interaksi yang mungkin terjadi dan menurunnya efektifitas antiplatelet clopidogrel. Tahun 2009, FDA (Food and Drug Administration) menyampaikan peringatan mengenai pemberian clopidogrel dengan omeprazole bersamaan. Dalam peringatannya tersebut, FDA juga menyatakan bahwa pasien-pasien dengan risiko tinggi serangan jantung dan stroke yang diterapi dengan clopidogrel tidak akan memperoleh manfaat penuh dari clopidogrel bila diberikan bersamaan dengan omeprazole. FDA pada saat itu merekomendasikan perubahan label clopidogrel dengan perigatan baru, yaitu interaksi clopidogrel dengan omeprazole dan obat-obat lain yang menghambat enzim CYP2C19. Pasien yang sedang diterapi menggunakan clopidogrel dan memerlukkan obat-obat yang mengurangi asam lambung direkomendasikan untuk diterapi menggunakan antagonis H2 seperti ranitidine atau famotidine, karena FDA memiliki keyakinan bahwa obat-obat ini tidak berinteraksi dengan clopidogrel. Sedangkan obat-obat yang tidak direkomendasikan pemberiannya bersamaan dengan clopidogrel antara lain adalah seperti cimetidine, fluconazole, ketoconazole, voriconazole, etravirine, felbamate, fluoxetine, fluvoxamine, dan ticlopidine.
Sebuah penelitian dilakukan oleh dr. Pamela Moceri dan rekan dari MD the Cardiology Department, Pasteur University Hospital of Nice, Nice, Perancis, untuk meneliti efek dari esomeprazole dan ranitidine terhadap efek antiplatelet clopidogrel dan aspirin, serta untuk mengetahui, apakah meningkatkan dosis clopidogrel dapat memperbaiki efektifitas anti platelet yang hilang karena esomeprazol.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian prospektif, acak, silang. Pemeriksaan reaktifitas platelet terhadap aspirin 75 mg dan clopidogrel 150 mg dilakukan dengan/tanpa esomeprazole dan ranitidine dan menggunakan the VerifyNow system. Pemeriksaan dilakukan dalam 4 tahapan yang masing-masing dilakukan selama 7 hari. Tahap 1 : aspirin 160 mg dan clopidogrel 75 mg; Tahap 2 : aspirin 160 mg + clopidogrel 75 mg + esomeprazole 20 mg; Tahap 3 : aspirin 160 mg + clopidogre 150 mg + esmeprazole 20 mg; dan Tahap 4 : aspirin 160 mg + clopidogrel 75 mg + ranitidine 150 mg. Hasil dikumpulkan dalam P2Y12 Reaction Units (PRU%) dan Aspirin Reaction Units (ARU).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada 21 pasien dengan penyakit arteri koroner, esomeprazole mengurangi efektifitas clopidogrel dengan penurunan 38.6%±24 PRU (p<0,001) (perbedaan rata-rata absolut -16.7 PRU% [-21;-12.5]), dan meningkatkan kejadian respon rendah terhadap clopidogrel sebesar 8 kali lipat (pasien dengan persebntase PRU <20%). Selain itu diketahui bahwa ternyata peningkatan dosis clopidogrel hingga 2 kali lipat memperbaiki respon platelet terhadap clopidogrel.
Dr. Pamela Moceri dan rekan menyimpulkan bahwa ada interaksi negatif yang kuat antara clopidogrel dengan esomeprazol, yang dapat diatasi dengan meningkatkan dosis clopidogrel hingga 2 kali lipat, atau menggantikan esomeprazole dengan ranitidine. Hal ini merupakan solusi sederhana untuk mengatasi penurunan efek clopidogrel karena PPI.

Sindrom Metabolik Berhubungan dengan Kejadian Kanker Hati

Sindrom Metabolik Berhubungan dengan Kejadian Kanker HatiSindrom metabolik, merupakan kelompok faktor risiko yang terbukti mampu meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung dan diabetes, tampaknya juga berhubungan dengan kejadian kanker hati. Hasil dari sebuah studi skala besar menemukan bahwa sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan risiko perkembangan karsinoma hepatoseluler (HCC) dan intrahepatik cholangiocarcinoma (ICC).
Para peneliti menemukan bahwa sindrom metabolik secara bermakna lebih umum terjadi pada orang yang berkembang menjadi HCC (37,1%) dan ICC (29,7%) daripada di kelompok pembanding (17,1%, P<.0001). Bahkan setelah beberapa analisis regresi logistik, sindrom metabolik tetap terkait secara bermakna dengan peningkatan risiko baik HCC (OR, 2,13; P<.0001) dan ICC (OR, 1,56; P<.0001), hal ini terungkap dari hasil pemaparan data dalam acara pertemuan ilmiah tahunan the American Association for Cancer Research (AACR).
Dengan adanya peningkatan kejadian obesitas, sindrom metabolik, dan perlemakan hati non-alkoholik di USA, maka studi tersebut merupakan suatu studi yang penting. Hal ini diungkapkan oleh Lewis Roberts, PhD., yang merupakan profesor dari klinik Mayo di Rochester, Minnesota, dikarenakan sebelumnya individu dengan sindrom metabolik pada umumnya tidak dipandang mempunyai risiko tinggi untuk kanker ini.
Nonalcoholic fatty liver disease  (NAFLD) dan NASH (nonalcoholic steatohepatitis) merupakan dua kondisi yang dihubungkan dengan sindrom metabolik. Dengan adanya peningkatan obesitas dan sindrom metabolik akan terjadi peningkatan NAFLD dan kejadian HCC dan ICC.