Jumat, 16 Desember 2011

Efektivitas COX-2 Inhibitor pada Nyeri Pasca Artroskopi Rekontruksi

Efikasi NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drug) selektif COX-2 dalam penanganan nyeri pasca operasi umumnya dibandingkan dengan NSAID konvensional non-selektif atau obat dari golongan lain. Sebuah studi acak, tersamar ganda yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Musculoskeletal Disorders pada akhir tahun 2010 membandingkan etoricoxib dan celecoxib (keduanya merupakan NSAID selektif COX-2) dalam penanganan nyeri pasca operasi setelah artroskopi + rekonstruksi ACL  (anterior cruciate ligament).
Dalam studi ini 102 pasien yang didiagnosa mengalami cedera ACL secara acak menerima etoricoxib 120 mg, celecoxib 400 mg, atau plasebo 1 jam sebelum insisi. Operasi dilakukan oleh 1 orang dokter bedah ortopedi dengan anastesi regional. Intensitas nyeri pasca operasi, waktu penggunaan analgesik lain untuk pertama kali, kebutuhan dan jumlah analgesik lain yang digunakan untuk penanganan nyeri, serta efek samping dicatat secara periodik sampai 48 jam setelah operasi
Di antara 102 pasien, 35 pasien diberikan etoricoxib, 35 diberikan celecoxib, dan 32 diberikan plasebo. Rata-rata umur  pasien adalah 30 tahun, dan kebanyakan cedera ACL disebabkan oleh cedera olahraga. Tidak ada perbedaan bermakna dalam karaketeristik demografi pada setiap kelompok. Kelompok yang diberikan etoricoxib secara bermakna memiliki intensitas nyeri yang lebih rendah dibanding kedua kelompok lain di ruang pemulihan sampai dengan periode 8 jam, tidak ada perbedaan lain dalam parameter yang lain. Celecoxib tidak memiliki perbedaan bermakna dengan plasebo pada periode waktu kapanpun. Dalam parameter waktu penggunaan analgesik untuk pertama kali, jumlah analgesik yang digunakan, kepuasan pasien dengan manajemen nyeri, insidens efek samping tidak ada perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok.

Dalam studi tersebut peneliti menyimpulkan: etoricoxib lebih efektif sebagai analgesik untuk penanganan nyeri akut pasca operasi artroskopi + rekonstruksi ACL dibanding dengan celecoxib dan plasebo.

 KF Medical

Studi Preklinis. Efek Kombinasi NGF (Nerve Growth Factor), Fluoxetine, dan Amitriptyline pada Jaringan Otak

Beberapa area di otak yang terkait dengan jalur VTA-NAc essensial dalam mekanisme reward dan perubahan reward secara kronik dalam kaitannya dengan adiksi. Area yang dimaksud adalah amygdala, hippocampus, hipotalamus, serta beberapa wilayah di korteks frontal. Beberapa area ini adalah bagian penting dari sistem penyimpanan memori di otak. Hal ini menghantarkan kepada pemahaman bahwa aspek-aspek penting dalam mekanisme adiksi sangat terkait dengan memori.
Karena penelitian secara studi preklinis pada otak hewan coba tikus jenis Flinders, dilakukan oleh para peneliti di Rhode Island, Amerika Serikat hendak mengetahui hubungan antara Nerve Growth Factor (NGF), pengobatan Fluoxetine, Amitriptilin dengan saline untuk profil gen dalam area otak di amygdala dan hippocampus, sebagaimana yang dipublikasi dalam jurnal riset Neuropeptides edisi Oktober 2011.
Bukti menunjukkan bahwa faktor pertumbuhan saraf atau  nerve growth factor (NGF) mungkin memiliki struktur anti-depresan walaupun mekanisme farmakologi tetap tidak diketahui.
Sebelumnya, para peneliti menemukan bahwa NGF meningkatkan reaksi (performance) pada tes renang yang ‘dipaksa’ pada line hewan coba tikus Flinders, tetapi tidak tampak memiliki aksi biokimiawi serupa dengan anti-depresan fluoxetine. Profil ekspresi gen untuk reseptor neurotransmitter dan gen  regulator pada  amygdala/hippocampus ditentukan pada hewan coba tikus yang diobati selama 14 hari dengan NGF, fluoxetine, amitriptyline, atau saline.
Ekspresi gen diukur dengan RT2 profiler pada sistem PCR dalam memperkirakan dasar efek ini. Dibandingkan dengan saline, terdapat sejumlah gen yang mempengaruhi secara bermakna kadar mRNA dalam area amygdala/hippocampal. Overlap / tumpang tindih ditemukan antara level mRNA dari gen yang dipengaruhi NGF dan pengobatan 2 anti-depresan meliputi  gen yang berkaitan dengan sistem  kolinergik dan dopaminergik. Walaupun,
penurunan level mRNA dari gen  Drd5, Sstr3, Htr3a, dan Cckar di area amygdala/hippocampus secara unik diatur oleh NGF.
Hasil studi preklinis ini konsisten dengan kesimpulan sebelumnya bahwa efek  anti-depresan,  NGF dimediasi melalui reseptor non-tradisional untuk neurotransmiter dan mungkin sebagai pertimbangan  dalam pengunaan sebagian NGF, dalam pengobatan depresi dan adiksi secara komorbid.

KF Medical

Letrozole untuk Hiperstimulasi Ovarium

Dalam proses fertilisasi invitro atau dikenal sebagai IVF (bayi tabung)  dimulai dengan melakukan stimulasi ovarium untuk dapat menumbuhkan sejumlah oosit (sel telur). Berbagai protokol stimulasi telah digunakan dalam program bayi tabung, yang cukup umum saat ini menggunakan  kombinasi antara GnRH agonist/antagonist dan hormon gonadotropin. Pengobatan hormon diberikan dalam kurun waktu selama 2 - 4 minggu. Selama pemberian obat, pasien akan dimonitor dengan USG guna memantau perkembangan folikel (gelembung cairan yang berisi sel telur). Setelah dinilai cukup matang pengambilan oosit (Ovum pick-up) dilakukan 36 jam setelah suntikan hCG. Pengambilan oosit dilakukan dengan bantuan alat ultrasonografi (USG) secara transvaginal.
Pada  keadaan kasus tertentu, seperti kasus darurat (emergency) wanita dengan kanker (payudara)  yang ingin menyelamatkan sel telur, diperlukan tambahan pengobatan dengan letrozole, suatu aromatase inhibitor, dan diklaim dapat meningkatkan stimulasi ovarium pada fase folikular atau luteal.  Hal ini disampaikan oleh para peneliti dari pusat riset Universitas Ankara, Turki, sebagaimana dipublikasi dalam jurnal Fertil Steril edisi bulan Mei 2011.  
Adapun penelitian ini, secara umum bertujuan untuk melaporkan pendekatan darurat (emergency) permulaan randomisasi  hiperstimulasi ovarium terkontrol atau controlled ovarian hyperstimulation (COH) pada fase folikular atau luteal dari siklus menstruasi untuk  embryo cryopreservation pada pasien dengan kanker. Desain secara seri kasus, dan diset  untuk pusat rujukan akademis tersier, sebagai pasien adalah 3 pasien yang didiagnosa kanker payudara yang memerlukan preservasi fertilitas secara darurat  pada fase folikular dan luteal dari siklus menstruasi.
Intervensi studi, setelah permulaan (baseline) dari ultrasound pelvik dan evaluasi hormonal, permulaan random COH dilakukan segera pada siklus menstruasi  hari ke-11, 14, atau 17 dengan menggunakan letrozole 2,5 mg/hari dan  FSH rekombinan 150-300 IU/hari. Antagonis Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) diberikan untuk mencegah ovulasi pada semua kasus. Ovulasi dicetuskan dengan 250 μg hCG rekombinan atau  10.000 IU dari hCG urin.  Tujuan studi dengan melihat jumlah oosit yang dipanen, maturitas dan rate fertilisasi, dan jumlah embrio beku.
Hasil studi menunjukkan 9 dari 17 oosit yang dipanen, menghasilkan pembekuan 7 dari 10 embrio dengan rerata angka maturitas dan fertilisasi adalah masing-masing 58,8%-77,7% dan 69,2%-87,5%. Kesimpulan dari set kedaruratan, stimulasi ovarium dapat dimulai pada tanggal siklus secara acak bertujuan dalam preservasi terhadap fertilitas dalam siklus letrozole.

KF Medical

Allopurinol Berkontribusi Menurunkan Tekanan Darah pada Pasien Hiperurisemia

Pemberian allopurinol pada pasien-pasien yang baru terdiagnosa hipertensi dan belum mendapatkan terapi anti-hipertensi ternyata efektif menurunkan tekanan darah. Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Daniel I. Feig dan rekan dari Department of Pediatrics, Renal Section, Baylor College of Medicine, Houston, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini juga telah dipublikasikan dalam Journal of American Medical Association.
Para ahli berpendapat bahwa hipertensi pada umumnya disertai dengan hiperurisemia, dan hiperurisemia memainkan peranan yang penting pada patofisiologi terjadinya hipertensi. Hiperurisemia merupakan salah satu prediktor terjadinya hipertensi dan secara umum terjadi pada pasien-pasien yang baru terdiagnosa menderita hipertensi esensial (new-onset essential hypertension). Pada binatang percobaan, peningkatan asam urat dengan menggunakan penghambat urikase (uricase inhibitor) menyebabkan peningkatan tekanand arah secara sistemik. Berdasarkan pada data-data penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah penurunan asam urat disertai dengan penurunan tekanan darah pada pasien dewasa dengan hiperurisemia dan hipertensi (baru terdiagnosa).
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian acak, tersamar ganda, kontrol plasebo, silang, antara bulan September 2004 - Maret 2007, melibatkan 30 pasien remaja dengan usia antara 11-17 tahun, yang baru didiagnosa menderita hipertensi esensial tingkat I, belum mendapatkan terapi anti-hipertensi sebelumnya, serta memiliki kadar asam urat dalam serum ≥ 6 mg/dL. Para peserta penelitian diterapi di Pediatric Hypertension Clinic at Texas Children’s Hospital di Houston, Texas, Amerika Serikat. Metode eksklusi berlaku bagi pasien yang menderita hipertensi tingkat II atau dengan penyakit ginjal, kardiovaskular, gastrointestinal, hati atau endokrin. Pasien dalam penelitian ini diterapi dengan allopurinol 200 mg dua kali sehari selama 4 minggu dan plasebo dua kali sehari selama 4 minggu berikutnya, dengan periode washout 2 minggu diantara terapi. Outcome primer yang dipantau adalah perubahan pada tekanan darah pada saat pemeriksaan di klinik dokter dan perubahan tekanan ambulatorik (pemeriksaan tekanan darah 24-jam).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perubahan TDS (tekanan darah sistolik) dan TDD (tekanan darah diastolik) lebih besar dengan terapi allopurinol dibandingkan dengan terapi plasebo. Para ahli penelitian juga menyampaikan bahwa 20 dari 30 peserta penelitian mencapai tekanan darah normal dengan terapi allopurinol, baik untuk tekanan darah hasil pemeriksaan casual, maupun ambulatorik. Sedangkan 1 pasien mencapai tekanan darah normal dengan terapi plasebo (p<0,001).
Peneliti menyimpulkan bahwa pada pasien yang baru menderita hipertensi tingkat I, terapi dengan allopurinol menghasilkan penurunan tekanan darah. Hasil penelitian ini memperlihatkan pendekatan terapi potensial baru untuk hipertensi, walau kemungkinan efek samping menjadi salah satu pertimbangan besar. Penelitian lebih besar dan lebih lama perlu dilakukan untuk memberikan konfirmasi mengenai hal ini.

KF Medical

Suplementasi Asam Folat Masa Kehamilan Mencegah Keterlambatan Bicara Anak


Pemberian suplementasi asam folat selama masa kehamilan dapat menurunkan risiko defek tabung neural dan dapat memberikan manfaat yang menguntungkan dalam aspek perkembangan sistem saraf lainnya. Studi terbaru memberikan gambaran perihal manfaat suplementasi asam folat. Dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal JAMA tahun 2011 ini menunjukkan adanya keterkaitan antara pemberian suplementasi asam folat pada ibu hamil dengan risiko keterlambatan bicara yang berat pada anak mereka kelak pada usia 3 tahun, maka sekelompok peneliti melakukan suatu penelitian.

Penelitian yang diberi nama The prospective observational Norwegian Mother and Child Cohort Study ini merekrut wanita-wanita hamil selama kurun waktu 1999 hingga Desember 2008. Data-data anak yang lahir sebelum tahun 2008 yang ibunya mengembalikan kuesioner follow up selama 3 tahun digunakan. Pemberian suplementasi asam folat selama masa kehamilan dalam interval 4 minggu sebelum hingga 8 minggu seudah konsepsi dijadikan sebagai pajanan. Risiko relative diperkirakan dengan mengestimasi odds ratio (OR) dengan 95% interval kepercayaan dalam analisis regresi logistik.Kompetensi kemampuan berbahasa anak pada usia 3 tahun diukur berdasarkan laporan ibu melalui 6-point ordinal language grammar scale. Anak dengan bahasa ekspresi yang minimal (hanya 1 kata atau ungkapan-ungkapan yang tidak dapat dimengerti) diklasifikasikan mengalami keterlambatan bicara yang berat.
Di antara 38.954 anak, 204 (0,5%) mengalami keterlambatan bicara yang berat. Anak dari ibu yang tidak menggunakan suplemen dalam kurun waktu yang spesifik tersebut merupakan kelompok rujukan (n= 9052 [24,0%], dengan keterlambatan bicara yang berat pada 81 anak [0,9%]). OR yang disesuaikan untuk 3 pola pajanan pada suplementasi diet ibu adalah:

(1) suplemen selain asam folat (n = 2480 [6.6%], dengan keterlambatan bicara yang berat pada 22 anak [0,9%]; OR 1,04’ 95% CI 0,62 – 1,74);   (2) hanya asam folat (n = 7127 [18,9%], dengan keterlambatan bicara yang berat pada 28 anak [0,4%]; OR 0,55; 95% CI 0,35-0,86);  (3) asam folat dikombinasikan dengan suplemen lain (n = 19 005 [50,5%], with severe language delay in 73 children [0,4%]; OR 0,55; 95% CI 0,39-0,78).
Kesimpulan yang ditarik peneliti dari penelitian yang dilakukannya adalah bahwa pemberian suplementasi asam folat selama masa kehamilan pada usia kehamilan awal berkaitan dengan penurunan risiko keterlambatan bicara yang berat pada anak berusia 3 tahun.

KF Medical

Kombinasi Atipikal Antipsikotik dan Pentoxyfilline Bermanfaat untuk Anak Autisme.


Ada beberapa bukti yang mengindikasikan bahwa sistem imun berperan penting di dalam patofisiologi autisme. Penelitian di bawah ini bertujuan untuk meneliti efek dari pentoxifylline  ditambah dengan risperidone dalam tata laksana gangguan autisme.Dan dari studi yang terbaru menunjukkan adanya manfaat dari penggunaan pentoxyfilline yang ditambahkan pada terapi antipsikotik terhadap anak autisme. Studi yang dilakukan oleh Akhonzadeh dan kolega ini diterbitkan dalam jurnal Progress in Neuro-Psychopharmacology and Biological Psychiatry tahun 2010.
Dalam studi ini sebanyak empat puluh orang anak berusia empat hingga dua belas tahun dengan diagnosis autisme berdasarkan DSM IV-TR diikutsertakan di dalam penelitian ini. Anak-anak ini memiliki keluhan utama gejala yang berat yang berkaitan dengan gangguan autisme. Pasien secara acak diberikan pengobatan pentoxifylline + risperidone atau placebo + risperidone selama 10 minggu. Penelitian ini menggunakan metode tersamar ganda dan berkontrol plasebo. Dosis risperidone dititrasi hingga 3 mg/hari, pentoxifylline  dititrasi hingga 600 mg/hari. Pasien dinilai pada saat awal penelitian dan setelah minggu ke-2, ke-4, ke-6, ke-8 dan ke-10 dari sejak awal diberikan pengobatan. Pengukuran hasil dilakukan dengan menggunakan Aberrant Behavior Checklist-Community (ABC-C).ABC adalah daftar isian gejala untuk menganalisis masalah perilaku pada anak dan dewasa dengan retardasi mental. ABC juga bermanfaat dalam mengelompokan masalah perilaku pada anak dan dewasa dengan retardasi mental di dalam lingkungan pendidikan, rumah tinggal (residential) dan fasilitas umum, dan pusat-pusat perkembangan.
Hasilnya, perbedaan di antara kedua kelompok pengobatan terlihat berbeda yang secara statistik bermakna. Kelompok yang mendapatkan pengobatan dengan pentoxifylline  memiliki penurunan yang lebih besar pada skor ABC-C sub-skala iritabilitas, letargi/penarikan diri dari lingkungan sosial, perilaku stereotipik, hiperaktivitas/noncompliance dan berbicara yang tidak perlu.
Dari hasil penelitiannya, para peneliti menyimpulkan bahwa kombinasi dari pengobatan antipsikotik atipikal dan pentoxifylline  dapat memberikan efek yang bersifat sinergi di dalam tata laksana masalah perilaku pada anak-anak dengan autisme.

KF MedicaL

Kadar DHA dalam Serum Rendah, Meningkatkan Risiko Bunuh Diri


Kadar DHA yang rendah meningkatkan risiko bunuh diri , hal ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Lewis dan kolega yang dipublikasikan dalam Journal of Clinical Psychiatry tahun 2011 ini. Adapaun latar belakan penelitian ini adalah untuk menentukan apakah berkurangnya suatu zat neuroactive yang dikenal dengan istilah asam lemak esensial omega-3 yang sangat tidak jenuh (n-3 HUFA), dalam hal ini adalah docosahexaenoic acid (DHA), berkaitan dengan peningkatan risiko kematian akibat bunuh diri di antara sejumlah besar personil militer Amerika Serikat yang menjadi subyek penelitian.
Studi dengan disain kasus kelola retrospektif ini, kadar asam lemak serum diperhitungkan dalam persentase di dalam asam lemak total di antara kematian akibat bunuh diri pada personil militer Amerika Serikat (n=800) dan kelompok kontrol (n=800) yang disesuaikan untuk usia, tanggal pengumpulan serum, jenis kelamin, pangkat dan tahun kejadian bunuh diri. Subyek penelitian adalah personil militer Amerika aktif (2002– 2008). Untuk kasus-kasus yang diketemukan, usia saat kematian berkisar antara 17 – 59 tahun (rerata = 27,3 tahun, SD = 7,3 tahun). Tolak ukur keluaran meliputi kematian akibat bunuh diri, kuesioner penilaian kesehatan pasca lepas tugas dan data diagnosis kesehatan jiwa ICD-9.
Risiko kematian akibat bunuh diri adalah 14% lebih tinggi pada subyek penelitian dengan persentase DHA yang rendah (OR = 1,14; 95% CI 1,02 – 1,27; p <0,03) dalam regresi logistik yang disesuaikan. Di antara para personil militer ini, risiko meninggal dunia akibat bunuh diri adalah 62% lebih besar pada personil militer dengan status DHA serum yang rendah (adjusted OR = 1,62; 95% CI 1,12 – 2,34; p <0,01, dibandingkan dengan DHA di bawah 1,75% [n = 1,389] dan DHA 1,75% atau lebih [n = 141]). Risiko meninggal dunia akibat bunuh diri adalah 52% lebih tinggi pada mereka yang dilaporkan pernah melihat luka, kematian atau terbunuhnya teman seperjuangan mereka (OR = 1,52; 95% CI 1,11 – 2,09; p <0,01).
Populasi personil militer AS ini memiliki status omega 3 HUFA yang sangat rendah dan rentang yang sangat sempit. Untuk memperoleh kesimpulan yang lebih akurat diperlukan uji klinis intervensi dengan desain yang lebih baik 


KF Medical

Simvastatin 40 mg untuk Terapi Jangka Panjang Hiperkolesterolemia

Pemberian simvastatin 40 mg dalam jangka panjang efektif menurunkan kejadian vaskuler secara bermakna dan relatif aman, sehingga dokter dapat memberikan terapi statin dalam jangka panjang mengingat manfaatnya tersebut. Temuan ini terungkap lewat penelitian lanjutan pasca-HPS (Heart Protection Study) yang dilakukan oleh tim Heart Protection Study Collaborative Group dan telah dipublikasikan online di jurnal The Lancet bulan November 2011.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui efikasi dan keamanan terapi statin jangka panjang dalam menurunkan kadar kolesterol LDL. Penelitian lanjutan ini menggunakan data-data dari 20.536 pasien yang berisiko tinggi mengalami komplikasi vaskuler dan non-vaskuler dalam penelitian HPS yang dilakukan sebelumnya. Masa follow-up rata-rata selama penelitian HPS adalah 5,3 tahun, dan follow-up pasca-penelitian pada pasien-pasien yang menyelesaikan penelitian HPS adalah 11 tahun. Outcome primer penelitian ini adalah kejadian vaskuler mayor pertama setelah terapi. Analisisnya menggunakan intention-to treat.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa selama masa penelitian, pemberian simvastatin 40 mg menghasilkan penurunan kadar kolesterol LDL dalam kisaran 1,0 mmol/L dan menurunkan kejadian vaskuler mayor sebesar 23% (95% CI 19-28; p <0,0001), dengan divergensi yang nyata setiap tahunnya. Selama masa pasca-penelitian, tidak terjadi penurunan tambahan terhadap kejadian vaskuler mayor (risk ratio [RR] 0,95 [0,89-1,02]), maupun terhadap kejadian kematian karena kejadian vaskuler (0,98 [0,90-1,07]). Selain itu, para ahli selama masa dan pasca-penelitian tidak menemukan kejadian kanker pada kedua kelompok penelitian (0,98 [0,92-1,05]), juga tidak ada kematian akibat kanker (1,01 [0,92-1,11]) ataupun kejadian non-vaskuler (0,96 [0,89-1,03]).
Sebagai simpulan, pemberian simvastatin 40 mg dalam jangka panjang menghasilkan penurunan kejadian vaskuler yang lebih besar secara bermakna. Walaupun pasca-penelitian terapi dihentikan, manfaat terapi statin menetap hingga 5 tahun tanpa adanya tanda-tanda efek samping yang menghawatirkan.

Referensi:
Effects on 11-year mortality and morbidity of lowering LDL cholesterol with simvastatin for about 5 years in 20 536 high-risk individuals: a randomised controlled trial. The Lancet 2011.

KF Medical

Selasa, 06 Desember 2011

Konsumsi Kedelai Kemungkinan Menderita Kanker Paru Lebih Rendah

Orang yang banyak mengkonsumsi produk kedelai yang tidak difermentasi mungkin memiliki kesempatan yang lebih kecil terkena kanker paru-paru, hal ini berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh peneliti dari Cina dan ilmuwan AS dengan melakukan meta-analisis dari 11 penelitian observasional, beberapa yang diikuti untuk satu dekade atau lebih. Dari data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa orang yang banyak mengkonsumsi kedelai memiliki risiko 23% lebih rendah terkena kanker paru-paru dibandingkan mereka yang mengkonsumsi sedikit.
Temuan baru tersebut dipublikasikan secara online pada 9 November di American Journal of Clinical Nutrition. Hubungan antara kedelai dan kanker hanya dilakukan untuk produk kedelai yang tidak difermentasi seperti tahu dan susu kedelai, misalnya. Terlebih lagi, itu hanya ditemukan pada orang yang tidak pernah merokok, pada wanita dan pada populasi Asia.
Dr Matthew Schabath, seorang peneliti di Moffitt Cancer Center di Tampa, Florida yang studinya juga dimasukkan dalam analisis, memperingatkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut hubungan antara kedelai dan kanker paru-paru. Mungkin hal ini tidak karena faktor kedelai saja, mungkin juga efek dari semua nutrisi yang dikemas dalam dalam makanan. Studi observasional melakukannya secara konsisten menunjukkan bahwa diet sehat akan memberikan efek yang menguntungkan.

KF Medical

Pemaparan Jangka Lama dari Polusi Udara, Meningkatkan Kejadian Diabetes

Studi terbaru menujukkan bahwa, pemaparan jangka panjang dari polusi akibat kendaraan mungkin berkontribusi terhadap kejadian dan perkembangan dari penyakit diabetes mellitus. Studi yang dilakukan oleh Dr. Zorona dan kolega dari Institute of Cancer Epidemiology, Danish Cancer Society, Kopenhagen, Denmark telah dipublikasikan dalam Diabetes Care tahun 2011 ini.
studi yang melibatkan sebanyak 57.053 subyek dari the Danish Diet, Cancer, and Health cohort in the Danish National Diabetes Register ini diikuti sejak 1993 - 1997. Parameter yang diukur adalah kadar nitrogen dioxide, diperkirakan adanya korelasi antara kadara NO2 yang ada dalam darah dengan risiko kejadian diabetes mellitus. Dan untuk membutikan hal tersebut dilakukan iji statistik dengan menggunakan Cox regression model.
Hasil dari studi tersebut rata-rata waktu follow up adalah 9.7 tahun dari sebanyak 51.818 subyek yang memenuhi sebagai subyek. terdapat 4,040 (7.8%) angka kejadian diabetes mellitus total dan sebanyak 2.877 atau 5.5%0 yang sudah dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium. Polusi udara mungkin tidak berhubungan dengan semua (hazard ratio 1.00 [95% CI 0.97–1.04] per rental kuartil sebesar 4,9 µg/m3 berarti kadar NO2 sejak 1971), tetapi hubungan statistik yang signifikan batas terdeteksi dengan kasus yang dikonfirmasi diabetes (1,04 [1,00-1,08]). Diantara kasus diabetes dikonfirmasi, efek yang meningkat drastis dalam merokok (1,12 [1,05-1,20]) dan orang aktif secara fisik (1.10 [1,03-1,16]).
Kesimpulan dari studi tersebut, menunjukkan pemaparan dalam jangka waktu lama polusi udara yang berhubungan dengan poluasi kendaraan/ lalu lintas mungkin berkontribusi  terhadap perkembangan diabetes, khususnya pada individi yang dengan kebiasaan hidup yang sehat, tidak merokok, dan individu yang aktif secara fisik.

KF Medical

Penanganan Asma Akut: Dexamethasone atau Prednisone?


Sebuah studi terkini menunjukkan bahwa pemberian dexamethasone selama 2 hari kurang lebih sama efektifnya dengan pemberian prednisone selama 5 hari untuk penanganan eksaserbasi asma pada pasien dewasa. Dalam studi yang dikepalai oleh dr. Joel Kravitz ini, dexamethasone tercatat memiliki bioavailibilitas yang sama dengan prednisone, tetapi memiliki waktu paruh yang lebih panjang (72 jam). Dengan demikian, pemberian dexamethasone memungkinkan periode perawatan yang lebih singkat.
Pada studi tersebut, sebanyak 200 pasien (umur 18 – 45 tahun) dengan asma akut (nilai laju ekspirasi puncak <80% nilai ideal) secara acak diberikan terapi prednisone oral 50 mg/hari selama 5 hari atau dexamethasone oral 16 mg/hari selama 2 hari.
Tiga hari kemudian, lebih banyak (secara bermakna) pasien yang diberikan dexamethasone yang dapat kembali melakukan aktivitas hariannya (90% vs 80%; p = 0,049). Tingkat kekambuhan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (11% pada kelompok dexamethasone vs 13% pada kelompok prednisone). 
Sebagai simpulan, pada pasien dewasa dengan asma, pemberian dexamethasone oral selama 2 hari paling tidak sama efektifnya dengan pemberian prednisone oral selama 5 hari, dalam konteks pemulihan pasien hingga bisa kembali menjalankan aktivitas sehari-hari dan mencegah kekambuhan.
Referensi:
1. Two days of dexamethasone effective for asthma flares. Medscape.
2. Two days of dexamethasone versus 5 days of prednisone in the treatment of acute asthma: A randomized controlled trial. Annals of Emergency Medicine 2011.

KF Medical

Apixaban untuk Pencegahan Tromboemboli Vena

UK NICE (The UK's National Institute for Health and Clinical Excellence) telah mempublikasikan suatu panduan terapi yang merekomendasikan penggunaan apixaban sebagai pilihan terapi pencegahan tromboemboli vena (venous thromboembolism, VTE) bagi pasien dewasa yang telah menjalani operasi bedah penggantian tulang pinggul atau lutut yang terencana. UK NICE juga menyimpulkan bahwa apixaban secara klinik lebih efektif dibandingkan dengan enoxaparin dan belum ada data-data klinik yang menunjukkan bahwa apixaban tidak lebih baik dibandingkan dengan rivaroxaban dan dabigartan.
Panduan NICE untuk tromboemboli vena  merekomendasikan bahwa pasien yang menjalani operasi bedah penggantian panggul dan lutut diberikan terapi LMWH (low-molecular-weight heparin), dabigartan, rivaroxaban, atau fondaparinux untuk pencegahan tromboemboli vena.
Walau hingga kini apixaban hanya dibandingkan dengan satu pilihan dari rekomendasi NICE, yaitu enoxaparin, komite UK NICE sangat tertarik bahwa apixaban merupakan salah satu pilihan yang efektif baik dari efektivitasnya maupun harganya untuk pencegahan pembekuan darah, di samping terapi efektif lainnya yang telah direkomendasikan oleh NICE.
Simpulannya, apixaban telah disetujui sebagai salah satu terapi oleh UK NICE untuk pencegahan tromboemboli vena bagi pasien yang menjalani bedah penggantian tulang pinggul atau lutut.
Reference:
1. HeartWire. UK NICE gives nod to apixaban for DVT prevention.
2. Apixaban for the prevention of venous thromboembolism after total hip or knee replacement in adults. National Institute for Health and Clinical Excellence.

KF Medical

Current Articles | Archives | Search Injeksi Diclofenac Intradeltoid Lebih Efektif

Studi terbaru menunjukkan bahwa formula baru diclofenac sodium 75 mg/1 mLyang diberikan secara intra-deltoid lebih unggul dibandingkan dengan formula konvensional 75 mg/3 mL yang diberikan secara intra-gluteal. Injeksi  diclofenac intra-deltoid dikaitkan dengan absorpsi yang lebih cepat dibandingkan dengan injeksi intra-gluteal. Hal ini merupakan hasil studi yang dilakukan oleh Shah P, dan kolega yang dipublikasikan dalam International Journal of Clinical Pharmacology and Therapy tahun 2011.
Total 250 pasien dengan nyeri pasca operasi secara acak menerima injeksi diclofenac 75 mg/1 mL atau diclofenac 75 mg/3 mL. Parameter utama yang diukur adalah onset analgesia dan penurunan intensitas nyeri. Derajat keparahan nyeri di tempat injeksi dan efek samping juga dievaluasi.232 pasien menyelesaikan studi ini. Waktu rata-rata onset analgesia sebanding pada kedua kelompok (16,17 ± 12,70 menit pada kelompok diclofenac 75 mg/1 ml dan 19,16 ± 11,79 menit pada kelompok diclofenac 75 mg/3 ml). Akan tetapi, secara signifikan lebih banyak pasien yang mencapai efek analgesia dalam waktu kurang dari 5 menit dan mengalami rasa nyeri yang lebih ringan di tempat injeksi pada kelompok diclofenac 1 mL.  Kebutuhan untuk analgesik penolong juga lebih sedikit pada kelompok diclofenac 1 mL (2,5% vs 9,82%). Tidak ada efek samping yang dilaporkan. Secara signifikan, lebih banyak pasien dan dokter yang menilai efikasi dan keamanan diclofenac 1 mL ini sempurna.
Kesimpulan: Kedua formula diclofenac efektif dan aman dalam penanganan nyeri pasca operasi, di mana kebutuhan analgesik penolong lebih sedikit dan rasa nyeri di tempat injeksi lebih ringan pada kelompok  diclofenac 75 mg/1 mL. Formula 1 mL memiliki keunggulan, di mana formula ini  diinjeksikan secara intra-deltoid. Hal ini akan sangat bermanfaat pada pasien-pasien dengan berat badan berlebih atau obesitas yang memiliki lapisan lemak yang tebal pada area gluteal.

KF Medical

Methylprednisolone Mengurangi Pembentukan Jaringan Parut Pasca Pielonefritis

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ya Yun Huang dan rekan dari Department of Pediatrics and Institute of Clinical Medicine, National Cheng Kung University Medical College and Hospital, Taiwan, memperlihatkan bahwa pemberian methylprednisolone, bersamaan dengan terapi antibiotika, secara bermakna mengurangi kejadian dan/atau derajat pembentukan jaringan parut pada pasien pediatrik pasca pielonefritis akut. Hasil penelitian ini juga telah dipublikasikan pada jurnal Pediatrics edisi bulan Agustus 2011.
ISK (infeksi saluran kemih) merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak. Hampir dua pertiga pasien dengan demam ISK mengalami pielonefritis akut.  Pembentukan jaringan parut di ginjal setelah pielonefritis akut dapat disertai dengan sequelae jangka panjang, seperti hipertensi, gangguan fungsi ginjal, toksemia dalam kehamilan, dan penyakit ginjal kronik stadium akhir. Kemungkinan terjadinya pembentukan jaringan ikat setelah pielonefritis akut berkisar antara 26,5% hingga 57%. Banyak data memperlihatkan bahwa kerusakan jaringan ginjal yang sifatnya menetap lebih disebabkan karena proses inflamasi yang terjadi, dibandingkan dengan bakteri penyebab pielonefritis itu sendiri. Karena itu, pencegahan pembentukan jaringan ikat setelah pielonefritis akut bukan hanya bergantung pada diagnosa dan terapi yang cepat, namun juga bergantung pada pencegahan respons inflamasi yang merusak jaringan ginjal.
Dalam penelitian, obat-obat golongan glukokortikoid secara klinik bermanfaat sebagai terapi untuk berbagai macam penyakit infeksi seperti meningitis bacterial. Pemberian antibiotic bersamaan dengan glukokortikoid dilaporkan dapat mencegah pembentukan jaringan ikat di ginjal pada uji coba pada hewan dengan pielonefritis akut. Konsentrasi interleukin-6 dan interleukin-8 dalam urin menurun pada pasien-pasien yang diterapi dengan kombinasi antibiotika dengan dexamethasone.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Dr. Ya Yun Huang dan rekan untuk mengetahui apakah methylprednisolone dapat mencegah terjadinya pembentukan jaringan ikat pada ginjal setelah kejadian pielonefritis pada pasien-pasien anak. Penelitian yang dilakukan melibatkan 84 pasien dengan usia < 16 tahun yang didiagnosa dengan pielonefritis akut dengan risiko tinggi pembentukan jaringan parut ginjal (volume inflamasi ≥ 4.6 mL dengan pemeriksaan technetium-99m–labeled dimercaptosuccinic acid scan [DMSA], atau hasil pemeriksaan USG yang abnormal), yang dilakukan pada baseline dan bulan ke-6 penelitian. Pasien dalam penelitian ini secara acak diterapi dengan antibiotika plus methylprednisolone (dosis 1,6 mg/ kg berat badan selama 3 hari, n = 19), atau dengan antibiotika plus plasebo (n = 65) setiap 6 jam selama 3 hari. Outcome primer adalah pembentukan jaringan parut ginjal.

Karakteristik pasien tidak berbeda bermakna antar kelompok penelitian, termasuk parameter DMSA pada baseline. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa jaringan parut ditemukan lebih banyak pada pasien yang tidak diterapi dengan methylprednisolone. Selain itu volume rerata jaringan korteks ginjal yang mengalami gangguan lebih besar pada kelompok terapi antibiotika plus plasebo. Selain itu, kelompok terapi methylprednisolone mengalami penurunan suhu tubuh yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang tidak diterapi dengan methylprednisolone.
Para ahli dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa terapi tambahan menggunakan methylprednisolone mengurangi kemungkinan dan/ atau derajat pembentukan jaringan parut setelah pielonefritis akut pada pasien-pasien pediatrik, dengan risiko tinggi pembentukan jaringan parut.

Simvastatin 40 mg untuk Terapi Jangka Panjang Hiperkolesterolemia

Pemberian simvastatin 40 mg dalam jangka panjang efektif menurunkan kejadian vaskuler secara bermakna dan relatif aman, sehingga dokter dapat memberikan terapi statin dalam jangka panjang mengingat manfaatnya tersebut. Temuan ini terungkap lewat penelitian lanjutan pasca-HPS (Heart Protection Study) yang dilakukan oleh tim Heart Protection Study Collaborative Group dan telah dipublikasikan online di jurnal The Lancet bulan November 2011.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui efikasi dan keamanan terapi statin jangka panjang dalam menurunkan kadar kolesterol LDL. Penelitian lanjutan ini menggunakan data-data dari 20.536 pasien yang berisiko tinggi mengalami komplikasi vaskuler dan non-vaskuler dalam penelitian HPS yang dilakukan sebelumnya. Masa follow-up rata-rata selama penelitian HPS adalah 5,3 tahun, dan follow-up pasca-penelitian pada pasien-pasien yang menyelesaikan penelitian HPS adalah 11 tahun. Outcome primer penelitian ini adalah kejadian vaskuler mayor pertama setelah terapi. Analisisnya menggunakan intention-to treat.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa selama masa penelitian, pemberian simvastatin 40 mg menghasilkan penurunan kadar kolesterol LDL dalam kisaran 1,0 mmol/L dan menurunkan kejadian vaskuler mayor sebesar 23% (95% CI 19-28; p <0,0001), dengan divergensi yang nyata setiap tahunnya. Selama masa pasca-penelitian, tidak terjadi penurunan tambahan terhadap kejadian vaskuler mayor (risk ratio [RR] 0,95 [0,89-1,02]), maupun terhadap kejadian kematian karena kejadian vaskuler (0,98 [0,90-1,07]). Selain itu, para ahli selama masa dan pasca-penelitian tidak menemukan kejadian kanker pada kedua kelompok penelitian (0,98 [0,92-1,05]), juga tidak ada kematian akibat kanker (1,01 [0,92-1,11]) ataupun kejadian non-vaskuler (0,96 [0,89-1,03]).
Sebagai simpulan, pemberian simvastatin 40 mg dalam jangka panjang menghasilkan penurunan kejadian vaskuler yang lebih besar secara bermakna. Walaupun pasca-penelitian terapi dihentikan, manfaat terapi statin menetap hingga 5 tahun tanpa adanya tanda-tanda efek samping yang menghawatirkan.
Referensi:
Effects on 11-year mortality and morbidity of lowering LDL cholesterol with simvastatin for about 5 years in 20 536 high-risk individuals: a randomised controlled trial. The Lancet 2011.

KF Medical

Methylprednisolone Oral Bermanfaat Sebagai Terapi Tambahan untuk Rinosinusitis Kronik

Studi terbaru menunjukkan bahwa penambahan methylprdnisolone oral ke dalam terapi antibiotik memberikan manfaat kepada anak-anak dengan rinosinusitis kronik. Hal ini telah dipublikasikan dalam Journal of Allergy and Clinical Immunology tahun 2011.
Dr. Fadil Ozturk dan koleganya (Ondokuz Mayis University, Samsun, Turkey) meneliti 48 anak umur 6 – 17 tahun dengan rinosinusitis kronik. Setiap pasien telah diberikan beberapa jenis antibiotik, paling tidak 2 atau lebih antibiotik spektrum luas, seperti amoxicillin-clavulanic acid, cephalosporin generasi ke-2, atau clarithromycin. Semua pasien dalam uji klinik ini menerima amoxicillin/clavulanate 45/6,4 mg/kgBB/hari selama 30 hari. Sebagai tambahan, setiap pasien menerima methylprednisolone oral selama 15 hari (dengan penurunan dosis) atau plasebo. Pasien yang diberikan methylprednisolone menerima dosis 1 mg/kgBB/hari selama 10 hari, 0,75 mg/kgBB/hari selama 2 hari, 0,5 mg/kgBB/hari selama 2 hari, dan 0,25 mg/kgBB/hari selama 1 hari.
45 pasien menyelesaikan uji klinik ini (22 pada kelompok methylprednisolone, dan 23 pada kelompok placebo). Kedua kelompok  mengalami perubahan bermakna dalam skor gejala (P < 0,001) dan skor CT (computed tomography) sinus (P < 0,001), dua parameter utama dalam mengukur keberhasilan perawatan. Penambahan methylprednisolone terbukti lebih efektif dibanding plasebo dalam mengurangi skor CT (P = 0,004), total gejala rinosinusitis (P = 0,001), gejala individual obstruksi nasal (P = 0,001), postnasal discharge (P = 0,007), dan batuk (P = 0,009).  Pada akhir perawatan, hanya 14% pada kelompok methylprednisolone yang masih memiliki temuan CT yang abnormal, dibanding dengan 48% anak pada kelompok plasebo.  Temuan ini juga menunjukkan bahwa methylprednisolone mungkin mengurangi kemungkinan kambuh (rekuren) pada jangka waktu menengah, di mana terdapat tren (P= 0,137) kekambuhan yang lebih sedikit pada kelompok methylprednisolone (25%) dibanding dengan kelompok plasebo (43%).
Methylprednisolone oral dapat ditoleransi dengan baik, di mana tidak terdapat perbedaan efek samping pada kedua kelompok, kecuali peningkatan nafsu makan, dan kenaikan berat badan. Efek ini lebih banyak terjadi pada kelompok methylprednisolone dibanding (73%) dengan kelompok plasebo (48%). Tetapi perbedaan berat badan ini tidak berbeda bermakna secara satatistik.
Dari studi ini peneliti menyimpulkan bahwa, methylprednisolone oral dapat menjadi terapi tambahan yang bermanfaat untuk pasien anak dan remaja dengan rinosinusitis kronik.

KF Medical

Current Articles | Archives | Search Amankan Atomoxetine untuk Anak Kurang dari 5 tahun ?

Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) adalah gangguan neurodevelopmental yang umum terjadi dan seringnya mengenai anak usia prasekolah. Diagnosis ADHD, menurut kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders–IV, baru dapat ditegakkan jika onset gejala ADHD dimulai sebelum usia 7 tahun. Sampel epidemiologi mengindikasikan sebanyak 5% anak usia 3 hingga 5 tahun mengidap kelainan ini. Bahkan pada usia semuda ini, ADHD membuat gangguan yang bermakna pada perilaku, interaksi, fungsi kekeluargaan, dan ketrampilan akademis, dan pada beberapa anak gangguan ini dapat menetap seiring dengan bertambahnya usia dan menimbulkan masalah-masalah sosial, masalah akademis, dan masalah perilaku.
Data pada anak-anak kecil yang diterapi dengan atomoxetine masih dibutuhkan untuk menentukan ada tidaknya variasi dalam efikasi dan tolerabilitas. Cukup banyak penelitian tersamar ganda dengan kontrol plasebo memberikan bukti mengenai keamanan dan efikasi dari atomoxetine dalam tatalaksana pada anak berusia 6 tahun atau lebih dan juga pada anak remaja dan orang dewasa. Tidak ada data berkontrol yang menyediakan informasi mengenai penggunaan atomoxetine pada anak berusia kurang dari enam tahun.
Suatu penelitian dilakukan untuk menganalisis mengenai efikasi dan tolerabilitas atomoxetine pada tatalaksana attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) pada anak berusia 5 hingga 6 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian selama 8 minggu dengan metode tersamar ganda, berkontrol plasebo dan acak. Penelitian dilakukan pada 101 orang anak dengan ADHD yang menggunakan atomoxetine. Atomoxetine atau plasebo diberikan secara titrasi hingga ke dosis maksimial sebesar 1,8 mg/kg BB/hari. Farmakoterapis mengulas materi psikoedukasi pada ADHD dan strategi managemen perilaku dengan orang tua pada setiap kunjungan. Studiyang dilakukan oleh  Dr. Kratochvil CJ, dan kolega ini telah dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics tahun 2010.
Hasilnya, secara bermakna terdapat penurunan skor skala ADHD-IV pada penilaian menurut orang tua (p=0.009) dan menurut guru (p=0,02) di kelompok anak yang menggunakan atomoxetine dibandingkan dengan yang menggunakan plasebo. Sejumlah 40% anak yang diterapi dengan atomoxetine memenuhi kriteria merespon menurut Clinical Global Impression–Improvement Scale yang mengindikasikan adanya perbaikan yang banyak atau sangat banyak dibandingkan dengan 22% anak yang mendapatkan terapi dengan plasebo, walaupun secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang bermakna (p=0,1)

Penurunan nafsu makan, gangguan saluran cerna, dan mengantuk secara bermakna lebih umum terjadi pada anak yang mendapatkan atomoxetine dibandingkan dengan plasebo. Walaupun beberapa anak memperlihatkan respons terhadap atomoxetine yang baik, beberapa anak yang lain merespons secara lebih lemah.

Pada bagian kesimpulan dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian pertama yang meneliti penggunaan atomoxetine pada anak berusia 5 tahun. Atomoxetine secara umum ditoleransi dengan baik dan menurunkan gejala utama ADHD pada anak berdasarkan pelaporan orang tua dan guru, walaupun penurunan pada skor ADHD-RS IV tidak serta merta dapat diterjemahkan adanya perbaikan pada fungsi dan klinis pasien.

KF Medical

Kombinasi Fosfatidilserin dan Omega-3 Bermanfaat untuk Anak ADHD

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Dr. Manor dan kolega menunjukkan bahwa kombiasi fosfatidilserin dan omega-3 mampu menurunkan gejala ADHD pada anak. Hal ini juga telah dipublikasikan dalam jurnal European Psychiatry tahun 2011.
Penelitian ini merupakan penelitian selama 15 minggu dengan metode tersamar ganda dan berkontrol plasebo yang diikuti dengan fase ekstensi terbuka tambahan selama 15 minggu. Sebanyak dua ratus anak dengan ADHD secara acak menerima PS-omega3 atau plasebo, dari jumlah ini sebanyak 150 anak meneruskan penelitian ke tahap selanjutnya. Efikasi dinilai dengan menggunakan Conner’s parent and teaching rating scales (CRS-P,T), Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ), dan Child Health Questionnaire (CHQ). Evaluasi keamanan meliputi pengawasan mengenai efek samping.
Penemuan kunci dari fase tersamar ganda adalah adanya penurunan bermakna pada sub-skala Global:Restless/impulsive pada CRS-P dan perbaikan bermakna pada sub-skala Parent impact-emotional (PE) pada CHQ, keduanya ditemukan pada kelompok yang mendapatkan terapi dengan PS-omega 3. Analisis pada anak dengan perilaku hiperaktif/impulsif, suasana hati dan disregulasi perilaku yang lebih berat, mengungkapkan adanya penurunan bermakna pada indeks ADHD dan komponen hiperaktif. Data dari penelitian pada fase ekstensi terbuka tambahan mengindikasikan adanya efikasi yang menetap untuk anak yang melanjutkan terapi dengan PS-omega 3. Anak yang beralih pengobatannya dari plasebo ke PS-omega 3 secara bermakna memperlihatkan penurunan pada skor sub-skala baik pada CRS-P maupun pada CXRS-T, jika dibandingkan dengan skor pada saat awal terapi. Pengobatan dengan PS-omega 3 ini ditoleransi degan baik.
Disimpulkan bahwa hasil dari penelitian selama 30 minggu ini menandakan bahwa PS-omega 3 dapat menurunkan gejala ADHD pada anak. Analisis pendahuluan menyatakan bahwa pengobatan ini bisa dikatakan efektif khususnya pada subgroup hiperaktif-impulsif, disregulasi emosi dan perilaku pada anak dengan ADHD.