Kamis, 27 Oktober 2011

Zat Kimia yang Menyebabkan Obesitas

Zat Kimia yang Menyebabkan ObesitasTiga penelitian yang dilaporkan dalam Kongres Obesitas Eropa di Jenewa menemukan tikus yang dalam masa pertumbuhannya didekatkan dengan peralatan dari zat-zat kimia terbukti menjadi gemuk.

Penelitian pertama dilakukan terhadap tikus betina yang induknya pada saat hamil banyak kontak dengan bisphenol (zat untuk membuat kotak plastik atau botol minuman) tumbuh menjadi tikus gemuk.

Penelitian kedua tikus-tikus hamil yang didekatkan dengan perfluorooctanoic acid (zat untuk kotak pembungkus popcorn). Induk tikus itu melahirkan anaknya berukuran normal, namun akan kegemukan saat dewasa.

Penelitian ketiga, tikus hamil yang didekatkan dengan tributylin, zat kimia untuk plastik pembungkus makanan, akan menghasilkan keturunan yang gemuk saat dewasa.

Jika penelitian itu juga terbukti bagi manusia, yang harus dilakukan bukan mengurangi berat badan saat dewasa, melainkan mencegah kontak dengan produk yang mengandung zat kimia itu.


NFA (KF)

Kamis, 06 Oktober 2011

Lights Off

Sekitar jam 19.30 terlihat di hp saya. Saya berjalan pulang setelah seharian bekerja penuh lelah, terlebih mata saya yang seharian berhadapan dengan komputer. Jalan terlihat remang karena hanya di sinari lampu jalanan redup yang berjarak cukup jauh satu sama lainnya. Banyak anak-anak kecil berekspresi gembira melakukan kegiatan seusia mereka pada umumnya. Berlari, bermain petak umpet atau sekedar duduk-duduk di pinggir jalan. Rasa lelah saya pun hilang seperti tersedot oleh tawa-tawa mereka.

Saya melewati mereka. Lupakan, hati saya berkata. Mereka sudah di belakang saya. Suasana hati saya berubah ketika melihat di depan saya seorang ibu tua yang kurus, memakai kebaya yang sudah kumal, sedang menumpuk-numpuk tanah. Terlihat kontras dengan apa yang baru saja saya lihat dari anak-anak yang penuh gembira tadi. Saya perhatikan ibu tua itu dengan seksama. Apa yang dia lakukan disini? Oh mungkin ibu tua ini terganggu kejiwaannya, pikir saya dalam hati.

Kebetulan saya membawa sebungkus nasi, lauk dan pisang. Tanpa ragu saya pun berikan ke ibu tua itu. Tapi alangkah terkejutnya saya ketika dia mengucapkan terima kasih. Ucapan itu menunjukkan kalau ibu tua itu bukanlah orang yang terganggu kejiwaannya melainkan orang normal pada umumnya. Hanya dia kurang beruntung. Miris hati saya melihat kenyataan itu. Sorang ibu tua yang mungkin tanpa sanak saudara dan cucu, yang seharusnya seusia dia menikmati sisa hidup di kursi dengan pijatan dari tangan-tangan lembut dari cucunya.

Indonesia..indonesia...Katanya negara subur, negara kaya. Tapi kenapa masih ada cerita seperti ibu tua di atas. Mengenaskan!



Protein Nanopartikel untuk Penyembuhan Luka Kronis

Protein Nanopartikel untuk Penyembuhan Luka KronisPara ilmuwan telah mengembangkan obat baru dengan biaya rendah dan berukuran nanometer untuk mengobati luka kronis termasuk diabetes atau luka bakar. Peneliti di Universitas Hebrew di Jerusalem dan Harvard Medical School diketuai Yaakov Nahmias, ilmuwan bioteknologi melakukan rekayasa genetika untuk menghasilkan protein robotic yang merespons suhu.

Sirkulasi darah yang buruk akibat diabetes sering mengakibatkan luka kulit yang tidak sembuh, menimbulkan rasa sakit, infeksi, dan bisa berujung pada amputasi.

Beberapa jenis protein, yang disebut faktor pertumbuhan, telah ditemukan untuk mempercepat proses penyembuhan, sesuai dengan laporan jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences edisi Februari 2011.

Namun, pemurnian protein ini terbilang mahal dan mereka tidak bertahan lama pada luka, menurut pernyataan peneliti Harvard.

Mengapa suhu? Karena peningkatan suhu menyebabkan puluhan protein ini bergabung atau seperti terlipat ke dalam nanopartikel yang ukurannya 200 kali lebih kecil daripada sehelai rambut.

Proses ini sangat menyederhanakan pemurnian protein sehingga sangat murah untuk diproduksi. Ini juga memungkinkan bagi protein tersebut untuk tetap berada pada luka bakar.

Kini, obat ini masih dikembangkan peneliti sebagai percobaan. Tapi, telah dipatenkan dan telah digunakan untuk mengobati luka kronis pada tikus penderita diabetes. Pada tikus, obat ini secara dramatis mampu meningkatkan penyembuhan. Menurut rencana, uni coba kilinis akan dilanjutkan dan dilakukan terhadap manusia setelah menjalani beberpa evaluasi.
 
 
NFA, KF

Paparan Testosteron Berkadar Tinggi di Rahim bisa Meningkatkan Risiko Autisme pada Bayi

Paparan Testosteron Berkadar Tinggi di Rahim bisa Meningkatkan Risiko Autisme pada BayiSebuah studi yang dilakukan Profesor Fiona Stanley dari Institut Telethon Australia menemukan bahwa paparan testosteron berkadar tinggi di rahim bisa meningkatkan risiko autisme pada bayi.

Ditemukan pula bahwa anak perempuan dengan gejala autis di usia 2 tahun akan mengalami haid pertama mereka enam bulan lebih awal. Hasil itu diketahui setelah dilakukan penelitian terhadap 383 anak perempuan yang tidak didiagnosis dengan autisme. Saat berusia 2 tahun, setiap anak diberikan penilaian perilaku autistik seperti menghindari tatapan orang lain.

"Penemuan ini menunjukkan bahwa paparan testosteron dalam kandungan berperan dalam mengatur perilaku, baik autis maupun usia pertama kali haid.," kata ketua tim peneliti Andrew Whitehouse. Ia menambahkan, hasil ini mendukung teori bahwa autisme merupakan gangguan perilaku dan bentuk ekstrem dari kejiwaan laki-laki.

"Autisme sebenarnya merupakan suatu kondisi yang didominasi kaum laki-laki. Terhitung, perbandingan penderita laki-laki dan perempuan yakni 4:1," katanya, seperti dikutip The Australian.

Namun, pada perempuan, penyebabnya dimungkinkan adalah kadar hormon laki-laki yang terlalu banyak yang dalam hal ini yang paling aktif secara biologis adalah testosteron." Tim Whitehouse pun kini berencana mengadakan studi pertama guna mengidentifikasi kaitan antara hormon dan kecenderungan autisme itu.

NFA, KF

Zat Kimia yang Menyebabkan Obesitas

Zat Kimia yang Menyebabkan ObesitasTiga penelitian yang dilaporkan dalam Kongres Obesitas Eropa di Jenewa menemukan tikus yang dalam masa pertumbuhannya didekatkan dengan peralatan dari zat-zat kimia terbukti menjadi gemuk.

Penelitian pertama dilakukan terhadap tikus betina yang induknya pada saat hamil banyak kontak dengan bisphenol (zat untuk membuat kotak plastik atau botol minuman) tumbuh menjadi tikus gemuk.

Penelitian kedua tikus-tikus hamil yang didekatkan dengan perfluorooctanoic acid (zat untuk kotak pembungkus popcorn). Induk tikus itu melahirkan anaknya berukuran normal, namun akan kegemukan saat dewasa.

Penelitian ketiga, tikus hamil yang didekatkan dengan tributylin, zat kimia untuk plastik pembungkus makanan, akan menghasilkan keturunan yang gemuk saat dewasa.

Jika penelitian itu juga terbukti bagi manusia, yang harus dilakukan bukan mengurangi berat badan saat dewasa, melainkan mencegah kontak dengan produk yang mengandung zat kimia itu.

NFA, KF

Risiko Diabetes tipe 2 Meningkat pada pasien HIV yg Kekurangan Vitamin D

Risiko Diabetes tipe 2 Meningkat pada pasien HIV yg Kekurangan Vitamin DKekurangan vitamin D dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 bagi pasien dengan HIV, peneliti Italia melaporkan dalam jurnal AIDS edisi online. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hampir dua pertiga dari pasien HIV-positif memiliki tingkat vitamin D yang tidak cukup.

Para peneliti dari Modena HIV Metabolic Clinic Cohort ingin melihat berapa banyak pasien mereka yang mengalami kekurangan vitamin D (di bawah 20 ng/dl) dan apakah pasien dengan kekurangan vitamin D lebih mungkin untuk memiliki diabetes tipe 2 dibandingkan dengan tingkat vitamin yang memadai.Oleh karena itu mereka melakukan penelitian prospektif cross sectional yang melibatkan 1.811 pasien yang menerima pengobatan antara tahun 2005 dan 2008.

“Studi harus memeriksa apakah suplemen vitamin D dapat mencegah atau mengobati diabetes melitus tipe 2 dalam penanggulangan HIV dan mungkin mengurangi komplikasi yang terkait dengan infeksi HIV dan pengobatannya,” para peneliti merekomendasikan.

Berkat terapi antiretroviral, banyak pasien dengan HIV sekarang hidup lebih lama dan lebih sehat. Namun, beberapa obat anti HIV dapat menyebabkan masalah metabolisme yang dapat mengarah pada pengembangan diabetes tipe 2.

Selain itu, beberapa studi juga menunjukkan bahwa banyak pasien dengan HIV memiliki kadar vitamin D yang rendah, dan penelitian yang melibatkan orang HIV-negatif telah menunjukkan bahwa jumlah yang tidak cukup dari vitamin ini dapat meningkatkan risiko diabetes.

Individu didefinisikan sebagai memiliki tipe 2 diabetes jika kadar glukosa puasa mereka minimal 126 mg/dl, jika dokter mereka telah mendiagnosis dengan diabetes tipe 2, atau jika mereka diberi obat untuk kondisi tersebut. Analisis juga dilakukan untuk melihat apakah tingkat rendah vitamin D meningkatkan risiko sindrom metabolik. Kadar vitamin D rata-rata adalah 19 ng/dl, dan 64% pasien memiliki kekurangan vitamin. Sebanyak 116 pasien diabetes tipe 2, dan tingkat vitamin secara signifikan lebih rendah pada pasien dibandingkan orang lain (15 vs 19 ng / dl, p <0,001).

Setelah disesuaikan untuk faktor yang dapat meningkatkan risiko diabetes (umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh dan koinfeksi hepatitis C), para peneliti menemukan bahwa kekurangan vitamin D secara bermakna dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 (rasio odds yang disesuaikan [OR] = 1,85, 95% confidence interval [CI], 1,03-3,32, p = 0,038). Ada juga signifikansi batas hubungan antara kekurangan vitamin D dan sindrom metabolik (OR = 1,32, 95% CI, 1,00-1,75, p = 0,053).

“Studi kami mengidentifikasi prevalensi tinggi kekurangan vitamin D di antara pasien yang terinfeksi HIV,” komentar para peneliti, “pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki kadar vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan orang tanpa diabetes tipe 2, walaupun kedua kelompok memenuhi kriteria untuk kekurangan vitamin D.”

Para peneliti mencatat “temuan-temuan dari studi kami adalah konsisten dengan individu yang tidak terinfeksi HIV dan menyarankan bahwa hubungan antara kekurangan vitamin D dan diabetes melitus tipe 2 juga hadir di antara orang yang terinfeksi HIV.”

NFA, KF

Orang Dengan IQ Tinggi Biasanya Mudah Terkena Anoreksia Nervosa

Orang Dengan IQ Tinggi Biasanya Mudah Terkena Anoreksia NervosaPara peneliti telah mendeteksi adanya hubungan antara indeks massa tubuh dengan IQ (intelligence quotient). Hal ini dilaporakan berdasarkan suatu review secara menyeluruh oleh Carolina Lopez MSc., dari Institute of Psychiatry, Kings College London in the United Kingdom and Facultad de Medicina de la Universidad de Chile in Santiago. Studi tersebut merupakan review dari sebanyak 30 hasil studi dan hasilnya dipublikasikan dalam the Annals of General Psychiatry pada bulan Desember tahun lalu.
Dari sebanyak 30 studi tentang anoreksia nervosa dalam hubungannya dengan IQ tersebut secara total melibatkan sebanyak 849 subyek yang terdiagnosa sebagai anoreksia nervosa (AN) dengan mengggunakan pengukuran IQ yang sudah baku yaitu; 14 studi menggunakan National Adult Reading Test; dan sebanyak 16 studi menggunakan the Wechsler Intelligence Scales, dalam tes ini masing-masing diambil AN dengan skor di atas  10,8 unit dan 5,9 unit dari skor rata-rata populasi normal. Para peneliti menemukan bahwa
Para peneliti juga menemukan bahwa subyek dengan sembuh dari anoreksia nervosa dari tes IQ menunjukkan mempunyai skor IQ yang lebih tinggi daripada populasi normal. Rata-rata IQ dari para subyek wanita dengan anoreksi nervosa yang ikut dalam studi adalah 109.3 sampai 118.1 dibandingkan dengan 96.1 sampai 117.6 pada populasi normal. Keuntungan dari studi ini adalah dapat dipakasi sebagai bagian dari pengetahuan untuk merencanakan studi masa mendatangdan mem-formulasikan pertanyaan-pertanyaan misalnya: apakah pasien-pasien dengan IQ tinggi mempunyai ahsil akhir yang lebih baik?, bagaimana efektivitas penggunaan pengobatan fisiologis pada IQ yang tinggi dsb.
Namun penulis menyamapaikan adanya keterbatas reviewnya, termasuk disain retrospektif yang digunakannya. Serta penggunaan Wechsler's tests menunjukkan tingginya heterogenitas sehingga mempersulit untuk membuat suatu kesimpulan yang kuat.

KTW, KF