Kamis, 30 Juni 2011

Multidetector Computed Tomography (MDCT) Dianjurkan Dilakukan Sebelum Tindakan Apendektomi

Multidetector Computed Tomography (MDCT) Dianjurkan Dilakukan Sebelum Tindakan ApendektomiKalbe.co.id - Multidetektor computed tomography (MDCT) adalah alat yang sensitif dan spesifik dan harus menjadi standar penanganan untuk diagnosis kecurigaan usus buntu pada orang dewasa, hal ini menurut hasil analisis studi penggunaan MDCT yang dilaporkan dalam the Annals of Internal Medicine edisi Juni 2011.

Dalam studi tersebut, dilakukan penilaian manfaatdiagnostik MDCT untuk diagnosis kecurigaan usus buntu akut pada orang dewasa. Dari studi retrospektf yang dilakukan pusat medis akademis AS, diketemukan sebanyak 2.871 orang dewasa berturut-turut dirujuk untuk dilakukan MDCT dengan kecurigaan usus buntu dari Januari 2000 sampai Desember 2009. Ahli radiologi diberitahu dari indikasi yang diinterpretasikan secara tidak fokus  dengan MDCT abdominopelvic. Menggunakan data akhir dari temuan klinis, bedah, dan patologi dikombinasikan sebagai standar referensi, para peneliti menentukan kinerja diagnostik MDCT untuk usus buntu akut.
Apendisitis akut dikonfirmasi pada 675 (23,5%) dari 2871 pasien. Untuk diagnosis apendisitis akut dengan MDCT, sensitivitas 98,5% (665/675 pasien), dan spesifisitas adalah 98,0% (2153/2196 pasien). Nilai prediktif negatif dan positif MDCT masing-masing adalah 99,5% (2153/2163 pasien) dan 93,9% (665/708 pasien). Rasio kemungkinan positif 51,3 (95% CI, 38,1-69,0), dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,015 (95% CI, 0,008-0,028).
Keterbatasn dari studi ini diantaranya adalah studi yang bersifat retrospektif,tidak ada pembanding seperti dalam studi kohort, bias rujukan, namun secara umum penggunaan penggunaan MDCT secara rutin cukup membantu sebagai standar diagnostik terhadap kecurigaan usus buntuk sebelum dilakukan tindakan pembedahan.

http://www.kalbe.co.id/

Meta-analisis: Statin Mengurangi Risiko Tromboembolisme Vena

Meta-analisis: Statin Mengurangi Risiko Tromboembolisme VenaKalbe.co.id - Pemberian obat-obat golongan statin dapat menurunkan risiko VTE (venous thromboembolism) dan sebaliknya obat-obat golongan fibrat dapat  meningkatkan risiko tersebut. Kesimpulan ini merupakan hasil sebuah meta-analisa yang dilakukan oleh dr. Alessandro Squizzato dan rekan dari Department of Clinical Medicine, University of Insubria, Varese, Italia, bekerja sama dengan Department of Vascular Medicine, Academic Medical Center, Amsterdam, Belanda. Hasil meta-analisa ini juga telah dipublikasikan dalam  European Heart Journal edisi bulan Januari 2011.

Obat-obat golongan statin merupakan obat penurun kadar lemak yang paling sering diberikan sebagai terapi bagi pasien-pasien dengan hiperkolesterolemia. Selain menurunkan kadar lemak darah, pemberiannya juga memiliki berbagai efek pleiotropik lainnya, seperti meningkatkan bioavailabilitas nitric oxide, menstabilkan plak arterosklerotik, mengatur angiogenesis, mengurangi respon inflamasi, memiliki efek anti-platelet dan efek anti-trombotik. Dengan berbagai manfaat pleiotropiknya tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa statin memiliki peranan penting dalam mencegah berbagai penyakit kardiovaskular, seperti VTE.
Obat-obat golongan fibrat dalam penelitian dapat menghilangkan aktivitas pro-koagulan dan menstimulasi terjadinya fibrinolisis. Data-data lainnya memperlihatkan bahwa pemberian fibrat dapat meningkatkan kadar homosistein. Walaupun secara keseluruhan obat-obat golongan fibrat memiliki efek anti-trombotik, namun data-data yang ada memperkirakan terjadinya peningkatan risiko VTE, yang diperkirakan terjadi karena peningkatan kadar homosistein.
Untuk menjawab pertanyaan seputar efek terapi statin dan fibrate terhadap risiko VTE, dr. Alessandro Squizzato dan rekan melakukan sebuah penelitian sistematik dan meta-analisia pertama untuk meneliti efek obat-obat penurun lemak terhadap risiko VTE. Para ahli melakukan pencarian data-data dari MEDLINE dan EMBASE untuk menemukan penelitian-penelitian yang mengevaluasi efek obat-obat penurun kadar lemak, terutama obat-obat golongan statin dan fibrat, terhadap risiko VTE. Setelah dilakukan pengumpulan data, terkumpul 3 penelitian acak tersamar ganda, 3 penelitian kohort dan 8 penelitian kontrol-kasus, yang melibatkan 863805 pasien. Data yang terkumpul dianalisis dengan perhitungan terhadap odds ratios dan 95% confidence intervals.
Hasil meta-analisa yang dilakukan, memperlihatkan bahwa pemberian statin menurunkan risiko VTE dan fibrat meningkatkan risiko tersebut. Efek obat-obat penurun lemak lainnya (non-statin dan non-fibrat) tidak memperlihatkan adanya hubungan dengan risiko VTE
Dr. Alessandro Squizzato dan rekan menyimpulkan bahwa terapi menggunakan statin dapat menurunkan risiko VTE dan pemberian fibrate dapat meningkatkan risiko VTE. Risiko VTE menurun sekitar 20% pada pasien yang diterapi dengan statin. Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi penting: 1) perlunya dilakukan penelitian acak tersamar ganda untuk meneliti efek statin terhadap VTE risiko tinggi, 2) VTE perlu menjadi salah satu endpoint dalam penelitian-penelitian yang meneliti statin, dan 3), hubungan antara arterosklerosis dengan VTE perlu diselidiki lebih lanjut.

http://www.kalbe.co.id/

Beta-Blocker Mungkin Bermanfaat dalam Mencegah Stres di Kalangan Pecandu

Beta-Blocker Mungkin Bermanfaat dalam Mencegah Stres di Kalangan PecanduKalbe.co.id - Dari sebuah penelitian dikatakan bahwa stres psikososial dapat menjadi penyulit pada pecandu heroin untuk mengambil keputusan bahkan setelah periode bebas heroin yang sangat panjang, dan stres psikososial ini juga berkontribusi pada peningkatan risiko kekambuhan yang berkaitan dengan stres. Namun demikian, penelitian juga menyatakan bahwa pengobatan dengan beta blocker (penghambat beta) dapat menghambat ketidakmampuan dalam mengambil keputusan yang terkait dengan stres pada orang-orang ini. Sistem noradrenergik menjadi target utama terapi farmakologi seperti propranolol untuk mencegah kekambuhan yang terkait dengan stres ini. Hal ini dikemukakan oleh Dr.Thomas R. Kosten, dari hasil studinya yang dipublikasikan dalam American Journal of Psychiatric tahun 2011 ini.

Sudah diketahui oleh kalangan luas bahwa penyalahgunaan heroin dikaitkan dengan berkurangnya kemampuan mengambil keputusan yang dapat berkontribusi dalam proses kekambuhannya pada pecandu yang sedang dalam masa pemulihan. Namun, masih sedikit yang diketahui mengenai waktu yang diperlukan untuk adanya perubahan dalam kemampuan untuk mengambil keputusan setelah terbebas dari heroin atau mengenai efek dari stres pada kemampuan mengambil keputusan pada pecandu yang sedang dalam masa pemulihan.
Untuk menginvestigasi hal ini, peneliti merekrut 370 pria yang sebelumnya pernah dirawat inap karena mengalami ketergantungan heroin yang telah bebas heroin untuk kurun waktu 3 hari hingga 24 bulan. Peneliti menganalisis kemampuan subyek penelitian  ini untuk membuat keputusan yang sudah distandardisasi pada Iowa Gambling Task. Dari analisis ini peneliti menemukan bahwa mantan pecandu yang baru terbebas dari heroin untuk periode yang singkat (3, 7, 15, atau 30 hari) memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang sudah terbebas dari heroin untuk periode yang lebih panjang (3, 6, 12, atau 24 bulan) (p<0,05 untuk seluruh perbandingan). Dalam hal tidak adanya stres, kemampuan pengambilan keputusan pada kelompok mantan pecandu yang sudah bebas dari heroin selama 24 bulan cenderung serupa dengan subyek penelitian yang sehat.
Peneliti kemudian menantang subyek penelitian yang sudah terbebas dari heroin selama 15 hari hingga 2 tahun dengan induksi stres dengan menggunakan Trier Social Stress Test, yang meliputi bicara di depan umum, lalu kemudian diberikan tugas yang memerlukan pengambilan keputusan. Dengan adanya stres, maka kemampuan pengambilan keputusan menjadi memburuk pada semua pecandu yang sedang dalam masa pemulihan, bahka pada mantan pecandu yang telah terbebas dari heroin untuk periode yang panjang (24 bulan), namun hal tersebut tidak terjadi pada subyek penelitian yang sehat.
Peneliti juga menemukan bahwa dengan pemberian propranolol sebesar 40 mg akan dapat menghambat efek merugikan dari stres pada kemampuan pengambilan keputusan pada kelompok mantan pecandu yang sudah terbebas dari heroin selama 30 hari, 12 bulan, dan 24 bulan. Stres mengungkapkan kerentanan laten akan masalah pengambilan keputusan yang berkaitan dengan stimulasi beta adrenergik. Stres diperkirakan memegang peranan utama dalam kekambuhan untuk kembali menggunakan heroin.  Jadi bisa dikatakan juga bahwa penelitian yang dilakukan ini juga memiliki implikasi psikoterapetik.

http://www.kalbe.co.id/

Tofacitinib, Obat Baru untuk RA

Tofacitinib, Obat Baru untuk RAKalbe.co.id - Dalam uji klinis fase 3, pemberian tofacitinib oral pada pasien dewasa dengan Rheumatoid Arthritis (RA) derajat sedang–berat yang tidak responsif terhadap agen DMARDs (Disease Modifying Antirheumatic Drugs) yang lain menujukkan efikasi yang sangat baik selama 6 bulan terapi. Hal ini disampaikan oleh oleh Joel Kremer dari Fakultas kedokteran Albany, New York. Lebih lanjut, dikatakan bahwa pemberian tofacitinib mulai menunjukkan manfaatnya setelah 2 minggu perawatan. Hasil penelitian ini disampaikan dalam kongres EULAR 2011 (European League Against Rheumatism) di London.

Sebanyak 792 pasien secara acak diberikan tofacitinib 5 mg atau 10 mg 2 kali/hari atau plasebo ditambahkan kepada perawatan awal dengan DMARDs tradisional, termasuk methotrexate. Pada bulan ke-3, semua pasien kelompok plasebo yang tidak merespons secara klinis secara samar diberikan tofacitinib 5 atau 10 mg, menggantikan plasebo. Pada bulan ke-6, semua pasien yang masih diberikan plasebo, semua diganti dengan tofacitinib 5 atau 10 mg. Total waktu perawatan pasien adalah 12 bulan. Pada bulan ke-6, 58,3% pasien pada kelompok tofacitinib 10 mg, 52,7% pada kelompok tofacitinib 5 mg, dan 31,2% pada kelompok plasebo memperoleh perbaikan sebesar minimal 20% pada American College of Rheumatology criteria (ACR20). Perbedaan pada kelompok tofacitinib dan plasebo sangat bermakna menurut statistik (p <0,0001 untuk kelompok tofacitinib 5 dan 10 mg vs plasebo). Sebagai tambahan, 36,6% pada kelompok tofacitinib 10 mg, 33,8% pada kelompok tofacitinib 5 mg, dan 12,7% pada kelompok plasebo mencapai paling tidak ACR50, dengan perbedaan yang sangat signifikan (P < 0,0001 untuk kelompok tofacitinib 5 dan 10 mg).
Pada bulan ke-6, fungsi fisik juga membaik secara signifikan pada kedua kelompok tofacitinib, berdasar  Health Assessment Questionnaire–Disease Index. Insidens efek samping dan efek samping serius yang dilaporkan  pada bulan ke-3 dan bulan ke-6 kurang lebih sebanding dengan kelompok plasebo. Kebanyakan efek samping bersifat ringan, dan yang paling sering dilaporkan adalah infeksi. Infeksi serius terjadi pada 2 pasien di kelompok tofacitinib 5 mg, 4 pasien pada kelompok tofacitinib 10 mg, dan 2 pasien pada kelompok plasebo yang kemudian pindah ke kelompok tofacitinib 5 mg atau 10 mg.  Elevasi enzim hati dilaporkan di bulan ke-3 pada 29% pasien yang diberikan tofacitinib, tetapi tidak ada peningkatan lebih lanjut. Empat kematian dilaporkan, tiga di antaranya tidak terkait dengan obat. Satu kematian, pada pria usia 58 tahun, diduga akibat gagal napas, dan dipertimbangkan terkait dengan obat. Terkait dengan mortalitas, Paul Emery, dari rumah sakit pendidikan di Leeds, Inggris, mengatakan bahwa angka kematian terkait dengan penggunaan DMARDs diperkirakan sebesar 22/1000 pasien per tahun.
Simpulannya, uji klinis ini menunjukkan bahwa tofacitinib merupakan agen biologis terbaru dengan efikasi yang tinggi serta profil keamanan yang cukup baik (dibandingkan dengan DMARDs lainnya) untuk RA.

http://www.kalbe.co.id/

Rabu, 29 Juni 2011

Fungsi Cairan Tubuh Manusia, Gejala Dehidrasi Dan Cara Mengatasi Kehilangan Cairan Tubuh

A. Peran / Manfaat / Kegunaan / Fungsi Cairan Tubuh Manusia
Air merupakan bagian terbesar dari komposisi tubuh manusia. Hampir semua reaksi di dalam tubuh manusia memerlukan cairan. Agar metabolisme tubuh berjalan dengan baik, dibutuhkan masukan cairan setiap hari untuk menggantikan cairan yang hilang.
Fungsi cairan tubuh antara lain :
1- Mengatur suhu tubuh
Bila kekurangan air, suhu tubuh akan menjadi panas dan naik.
2- Melancarkan peredaran darah
Jika tubuh kita kurang cairan, maka darah akan mengental. Hal ini disebabkan cairan dalam darah tersedot untuk kebutuhan dalam tubuh. Proses tersebut akan berpengaruh pada kinerja otak dan jantung.
3- Membuang racun dan sisa makanan
Tersedianya cairan tubuh yang cukup dapat membantu mengeluarkan racun dalam tubuh. Air membersihkan racun dalam tubuh melalui keringat, air seni, dan pernafasan.
4- Kulit
Air sangat penting untuk mengatur struktur dan fungsi kulit. Kecukupan air dalam tubuh berguna untuk menjaga kelembaban, kelembutan, dan elastisitas kulit akibat pengaruh suhu udara dari luar tubuh.
5- Pencernaan
Peran air dalam proses pencernaan untuk mengangkut nutrisi dan oksigen melalui darah untuk segera dikirim ke sel-sel tubuh. Konsumsi air yang cukup akan membantu kerja sistem pencernaan di dalam usus besar karena gerakan usus menjadi lebih lancar, sehingga feses pun keluar dengan lancar.
6- Pernafasan
Paru-paru memerlukan air untuk pernafasan karena paru-paru harus basah dalam bekerja memasukkan oksigen ke sel tubuh dan memompa karbondioksida keluar tubuh. Hal ini dapat dilihat apabila kita menghembuskan nafas ke kaca, maka akan terlihat cairan berupa embun dari nafas yang dihembuskan pada kaca.
7- Sendi dan otot
Cairan tubuh melindungi dan melumasi gerakan pada sendi dan otot. Otot tubuh akan mengempis apabila tubuh kekurangan cairan. Oleh sebab itu, perlu minum air dengan cukup selama beraktivitas untuk meminimalisir resiko kejang otot dan kelelahan.
8- Pemulihan penyakit
Air mendukung proses pemulihan ketika sakit karena asupan air yang memadai berfungsi untuk menggantikan cairan tubuh yang terbuang.
B. Hilangnya Cairan Tubuh Manusia
Kehilangan cairan tubuh dapat bersifat :
a. Normal
Hal tersebut terjadi akibat pemaakaian energi tubuh. Kehilangan cairan sebesar 1 ml terjadi pada pemakaian kalori sebesar 1 kal.
b. Abnormal
Terjadi karena berbagai penyakit atau keadaan lingkungan seperti suhu lingkungan yang terlalu tinggi atau rendah.
Pengeluaran cairan yang banyak dari dalam tubuh tanpa diimbangi pemasukkan cairan yang memadai dapat berakibat dehidrasi.
Dehidrasi adalah keadaan dimana tubuh kehilangan cairan elektrolit yang sangat dibutuhkan organ-organ tubuh untuk bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Saat dehidrasi, tubuh dengan terpaksa menyedot cairan baik dari darah maupun organ-organ tubuh lainnya.
C. Gejala Dehidrasi
Berikut ini adalah berbagai gejala dehidrasi sesuai tingkatannya :
- Dehidrasi ringan
Muka memerah
Rasa sangat haus
Kulit kering dan pecah-pecah
Volume urine berkurang dengan warna lebih gelap dari biasanya
Pusing dan lemah
Kram otot terutama pada kaki dan tangan
Kelenjar air mata berkurang kelembabannya
Sering mengantuk
Mulut dan lidah kering dan air liur berkurang
- Dehidrasi sedang
Tekanan darah menurun
Pingsan
Kontraksi kuat pada otot lengan, kaki, perut, dan punggung
Kejang
Perut kembung
Gagal jantung
Ubun-ubun cekung
Denyut nadi cepat dan lemah
- Dehidrasi Berat
Kesadaran berkurang
Tidak buang air kecil
Tangan dan kaki menjadi dingin dan lembab
Denyut nadi semakin cepat dan lemah hingga tidak teraba
Tekanan darah menurun drastis hingga tidak dapat diukur
Ujung kuku, mulut, dan lidah berwarna kebiruan
D. Mengembalikan Cairan Tubuh Yang Hilang
Untuk mengembalikan cairan tubuh yang hilang, kita harus banyak minum minimal 8 gelas (± 2 liter ) air setiap hari yang bisa didapat dari :
- Air putih yang higienis/air mineral
Air putih mengandung beberapa zat penting untuk tubuh seperti oksigen, magnesium, sulfur, dan klorida.
- Air berion
Air berion tidak hanya menghilangkan dahaga melainkan juga berfungsi sebagai sumber energi seperti halnya karbohidrat, lipid, dan protein. Air berion bekerja sebagai perantara dalam reaksi-reaksi biokimia dan berperan dalam proses metabolisme tubuh sehingga dapat mengembalikan kesegaran otot tubuh setelah beraktivitas mengeluarkan keringat dengan cepat.
- Jus buah
Selain rasanya nikmat dan segar, jus buah mengandung beragam vitamin dan mineral yang menyehatkan. Menurut penelitian, jus jambu biji mengandung vitamin C sebanyak 3-6 kali lebih tinggi dibandingkan jus jeruk, 10 kali lebih tinggi dibandingkan pepaya, dan 10-30 kali lebih tinggi dibanding pisang. Namun, atlet kurang disarankan meminum jus buah saat berolahraga karena cairan padatnya tidak mudah terserap tubuh.
Jadi, sebelum Anda bermasalah dengan cairan tubuh, jagalah kadar air dalam tubuh Anda.

http://organisasi.org

Selasa, 28 Juni 2011

Penambahan Dexamethasone pada Terapi Antibiotik Mempersingkat Durasi Rawat Inap Pasien CAP

Penambahan Dexamethasone pada Terapi Antibiotik Mempersingkat Durasi Rawat Inap Pasien CAP
Kalbe.co.id - Penambahan dexamethasone terhadap terapi antibiotik mempersingkat durasi rawat inap di rumah sakit pada pasien yang menderita  CAP (community-acquired pneumonia) tanpa gangguan pada sistem imun. Temuan ini merupakan hasil Studi acak tersamar ganda, dengan kontrol plasebo, yang dilakukan terhadap 304 pasien CAP (usia >18 tahun) di dua rumah sakit pendidikan di Belanda - 153 pasien pada kelompok plasebo dan 151 pasien pada kelompok dexamethasone (infus 5 mg/hari). Terapi diberikan selama 4 hari sejak pasien dirawat inap. Kedua kelompok mendapat terapi antibiotik. Pasien dengan gangguan sistem imun, pasien yang perlu dipindahkan ke ICU, dan pasien yang sudah menerima kortikosteroid/immunosupresan dieksklusi dari uji klinis ini. Parameter utama pada studi ini adalah durasi rawat inap pasien.

Dari 304 partisipan, 143 (47%) pasien mengidap CAP kelas 4 – 5, 79 pasien pada kelompok dexamethasone dan 64 pasien pada kelompok kontrol. Pada kelompok dexamethasone, nilai median durasi rawat inap pada kelompok dexamethasone adalah 6,5 hari, sedangkan nilai median pada kelompok kontrol adalah 7,5 hari (95% CI perbedaan median 0 – 2 hari, p = 0,048). Selain itu, penurunan biomarker peradangan dalam darah (C-reactive proteins dan interleukin-6) terjadi lebih cepat pada kelompok dexamethasone dibandingkan dengan kelompok kontrol.
 
Tidak ada perbedaan bermakna dalam mortalitas dan insidens efek samping yang berat antara kelompok dexamethasone dan kelompok kontrol. Akan tetapi, hiperglikemia terjadi pada 67 (44%) dari 151 pasien kelompok dexamethasone, berbanding 35 (23%) dari 153 pasien kelompok kontrol. Satu pasien pada kelompok dexamethasone mengalami perforasi lambung pada hari ke-3.
Simpulannya, penambahan dexamethasone pada terapi antibiotik dapat mempersingkat durasi rawat inap pada pasien CAP tanpa gangguan sistem imun. Penggunaan kortikosteroid tetap harus mempertimbangkan manfaatnya dan potensi risikonya, seperti superinfeksi dan gangguan saluran cerna. Bagaimana pun, dibutuhkan uji klinis lebih lanjut dengan durasi pemberian kortikosteroid yang lebih panjang guna mencapai resolusi biologis dan mencegah rebound inflammation.

Diet Rendah Energi, Mungkin Membantu Pasien dengan "Obstructive Sleep Apnea"

Kalbe.co.id - Diet sangat rendah energi akan membantu memperbaiki "obstructive sleep apnea" pada pria dengan obesitas, dengan manfaat dipertahankan sampai satu tahun dan sebanding dengan penurunan berat badan serta tingkat keparahan awal, hal ini menurut hasil studi dari dari satu pusat penelitian, prospektif, observasional yang dipublikasikan secara online pada British Medical Journal pada bulan Juni tahun 2011 ini.

Pasien-pasien dengan "obstructive sleep apnea" diperkirakan 60-70% disertai kelebihan berat badan atau obesitas, hal ini disampaikan Johansson, PhD., dan rekan di Unit Obesitas, Departemen Kedokteran di Institut Karolinska di Stockholm, Swedia. Mengingat adanya korelasi yang erat antara "obstructive sleep apnea" dengan obesitas, maka penurunan berat badan telah dianjurkan sebagai pilihan pengobatan utama pada pasien "obstructive sleep apnea" dengan obesitas.
Studi diet rendah energi ini melibatkan sebanyak 63 sukarelawan laki-laki dengan indeks massa tubuh 30-40 kg/m2 yang disertai dengan "obstructive sleep apnea" dengan derajat sedang sampai berat. Selanjutnya sukarelawan tersebut melakukan diet sangat rendah energi dalam kurun waktu 1 tahun, dan untukpasien subyek dengan derajat "obstructive sleep apnea" yang berat (indeks apnea-Hypopnea minimal 15 kejadian/jam) maka diberikan "continuous positive airway pressure".
Perbaikan dari indeks apnea-Hipopnea lebih besar pada pasien dengan "obstructive sleep apnea" yang parah pada awal (25 peristiwa/jam) dibadingkan pasien dengan derajat sedang (7 kejadian/jam). setelah kurun waktu 1 tahun, continuous positive airway pressure tidak lagi diperlukan pada 30 dari 63 pasien (48%), dan 6 pasien (10%) terjadi total remisi obstructive sleep apnea, yang didefinisikan sebagai kondisi dimana indeks apnea-hypopnea kurang dari 5 kejadian/jam.

http://www.kalbe.co.id/

Peningkatan Kadar Vitamin D Menurunkan Risiko Diabetes

Peningkatan Kadar Vitamin D Menurunkan Risiko Diabetes
Kalbe.co.id - Tingginya kadar vitamin D dalam darah tampaknya terkait dengan penurunan risiko insiden diabetes pada orang-orang berisiko tinggi untuk penyakit ini, hal ini menurut sebuah laporan terbaru, yang disampaikan Dr. Anastassios G. Pittas,dan kolega dari the division of endocrinology, diabetes, and metabolism, the Tufts New England Medical Center in Boston, Massachusetts yang dipresentasikan pada the American Diabetes Association 71st Scientific Sessions. Menurut Dr. Pittas, vitamin D mungkin berperan dalam memperbaiki diabetes dengan meningkatkan sekresi insulin dan sensitivitas insulin dan sebagian besar bukti berfokus pada efek yang menguntungkan dalam sel beta pankreas.

Untuk menentukan hubungan antara status vitamin D dan risiko insiden diabetes, para peneliti menganalisis data dari the Diabetes Prevention Program (DPP), tiga kelompok studi yang membandingkan antara modifikasi gaya hidup yang intensif atau metformin dengan plasebo untuk pencegahan diabetes pada pasien pradiabetes. Rata-rata tindak lanjut dari studi kohort dengan subyek sebanyak 2.039 orang ini adalah 3,2 tahun. Kadar vitamin D plasma diukur pada interval tahunan, dan kejadian diabetes.
Peserta dengan kadar vitamin D dalam tertile tertinggi (konsentrasi rata-rata, 30,1 ng/mL) memiliki rasio hazard sebesar 0,74 (95%  [CI], 0,59-0,93) untuk diabetes, dibandingkan dengan mereka dengan tingkat vitamin D dalam terendah tertile (konsentrasi rata-rata, 12,8 ng/mL). Temuan ini juga menunjukkan efek tergantung dosisyang ditunjukkan dengan kadar vitamin D; rasio hazard untuk insidens diabetes adalah yang terendah (0,46; 95% CI, 0,23-0,90) pada orang-orang dengan tingkat tertinggi vitamin D (50 ng/mL atau lebih tinggi), dibandingkan dengan mereka dengan tingkat terendah (di bawah 12 ng/mL).
Studi ini sebagai konfirmasi adanya hubungan antara kadar vitamin D dengan risiko terjadinya dibaetes, bahkan setelah dikoreksi faktor berat badan.

http://www.kalbe.co.id/

Infeksi saluran Kemih pada Masa Kehamilan Meningkatkan Risiko Asma pada Anak yang Dilahirkan

Infeksi saluran Kemih pada Masa Kehamilan Meningkatkan Risiko Asma pada Anak yang Dilahirkan
Kalbe.co.id - Wanita yang mengalami infeksi antepartum selama kehamilan atau persalinan, terutama infeksi saluran kemih (UTI), akan lebih mungkin memiliki anak dengan asma, hal ini menurut sebuah penelitian Dr. Charlene Hooper, dari Yale University, New Haven, Connecticut yang dipresentasikan dalam the American College of Obstetricians and Gynecologists’ (ACOG) 59th Annual Clinical Meeting. Dalam risetnya dilaporkan bahwa adanya peningkatan risiko asma pada anak dari wanita yang terdiagnosis infeksi sebelum persalinan.

Dalam studi ini melibatkan sebanyak 1.428 wanita hamil, yang selanjutnya kelompok tersebut diikuti keturunan mereka melalui wawancara terstruktur dan catatan sampai anak-anak mereka mencapai usia 6 tahun. Asma didefinisikan oleh dokter diagnosis dan gejala pada usia 6 tahun. Dari total sebanyak 635 (44.5%) wanita, sebanyak 21,1% pernah mengalami infeksi saluran nafas, 19% infeksi saluran kemih, 13,9% mengalami infeksi ginekologis, dan 4,8% terjadi korioamnionitis selama masa kehamilan. Berebagai infeksi tersebut menurut Dr. Charlene Hooper dapat menyebabkan terjadinya asma pada anak yang dilahirkannya, namun hanya infeksi saluran kemih yang secara bermakna meningkatkan risiko asma pada anak yang dilahirkannya.
Selain itu jug aditemukan bahwa, walaupun kolonisasi rektovaginal akibat Streptococcus group B dilaporkan mencapai 20,9% dari wanita-wanita tersebut, namun hal ini tidak berhubungan ataupun meningkatkan risiko terjadinya asma pada anak yang dilahirkannya.
Para peneliti menyimpulkan bahwa, imunitas dari ibu maupun fetus dan respon peradangan terhadap kuman patogen saluran kemih serta perubahan dari mikroflora akiba tinfeksi dan pemaparan antibiotik mungkin merupakan kondisi yang unik sebagai predisposisi dari terjadinya alergi dari keturunannya.

http://www.kalbe.co.id/

Cefixime lebih Efektif daripada Ciprofloxacin untuk Infeksi Saluran Kemih Wanita tanpa Komplikasi

Cefixime lebih Efektif daripada Ciprofloxacin untuk Infeksi Saluran Kemih Wanita tanpa Komplikasi
Kalbe.co.id - Cefixime lebih efektif dan aman dibanding ciprofloxacin untuk wanita dengan infeksi saluran kemih tanpa komplikasi, hal ini merupakan hasil penelitian yang disampaikan dalam the 21st European Congress of Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ECCMID). Dalam penelitiannya Dr. Evgeny Dovgan dari Department of Clinical Pharmacology, Smolensk State Medical Academy, Smolensk, Russia, menyebutkan bahwa studi ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas dan keamanan penggunaan antibiotik cefixime dan ciprofloxacin jangka pendek (5 hari) untuk penanganan infeksi saluran kemih wanita tanpa komplikasi.

Dari total sebanyak 104 wanita premenopause dengan gejala infeksi saluran kemih tanpa komplikasi secara acak diberikan cefixime 400 mg sekali sehari selama 5 hari atau mendapatkan ciprofloxacin 250 mg/500 mg dua kali sehari selama 5 hari. Selanjutnya pasien dilakukan evaluasi pada hari ke-3 dan ke-5 (kunjungan ke-2) dan hari ke-28 setelah pengobatan selesai (kunjungan ke-3). Dari kunjugan ke-2, pasien yang mendapatkan cefixime menunjukkan secara bermakna terjadi eradikasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan pasien yang memperoleh ciprofloxacin yaitu masing-masing sebesar (95.9% vs 66.0%; P =.0002), yang berlanjut sampai hari ke-28 (94.7% vs 75.9%; P =.026). Terdapat juga kecenderungan bahwa cefixime lebih baik daripada ciprofloxacin baik dalam hal angka kesembuhan yaitu masng-masing sebesar (75.5% vs 58.1%; P =.07), dan perbaikan klinis dari pasien yaitu sebesar (93.9% vs 81.1%; P =.06).
Tingkat kekambuhan tidak berbeda bermakna diantara 2 kelompok (13,2% vs 19,4%, P =. 49). Namun, tingkat kegagalan lebih tinggi untuk pasien yang menerima ciprofloxacin dibandingkan dengan pasien yang menerima cefixime (6,1% vs 18,9%, P =. 06). dalam hal efek samping, efek samping yang paling umum (AE) pada kelompok cefixime adalah bakterial vaginosis (n=2), dan pada ciprofloxacin adalah adalah diare (n=7), vaginosis bakteri (n=2), urtikaria (n=1), dan pielonefritis (n=1).

http://www.kalbe.co.id/